Tuesday, October 6, 2020

HARI PENGHIANATAN

Semalam, 5 Oktober 2020, sebuah tindakan pengkhianatan ramai-ramai dan tergesa-gesa telah dilakukan. RUU Omnibus Law yang menjadi cidro bagi mayoritas masyarakat di Negeri ini telah resmi disahkan sebagai UU. Demonstrasi penolakan setahun lalu nyatanya tidak pernah digubris sebagai manifestasi penolakan yang nyata dari masyarakat atas RUU tersebut.

Saya pribadi menganggap tanggal tersebut perlu diabadikan sebagai sejarah. Menjadi tanggal merah untuk berkabung karena amanah suci rakyat telah dikhianati oleh para pemangku kebijakan. Sejarah penghianatan besar-besaran yang dilakukan dengan persekongkolan tidak bermoral oleh entitas eksekutif dan legislatif. Tindakan yang begitu tidak tahu diri dilakukan oleh orang-orang yang diberikan fasilitas oleh rakyat.

Mereka dipilih, diberikan fasilitas yang mewah, gaji yang tinggi, tapi selayaknya anjing yang menggigit tuannya, mereka beramai-ramai mengesahkan Omnibus Law yang menggigit setiap kehidupan masyarakat kecil di negeri ini.

Padahal, kurang mengalah apa rakyat di negeri ini? Semua sudah diberikan. Ketika mereka menggunakan setelan baju dan jas yang bersih dan bagus, rakyat mengalah hanya menggunakan kaos partai pemberian mereka yang kualitas kainnya seperti saringan tahu. Saat mereka petantang-petenteng, jalan-jalan ke luar negeri, rakyat hanya berjalan-jalan dengan penuh ratapan di pinggiran sawah, melihat mata pencaharian mereka dibabat habis oleh buldoser-buldoser pengembang properti.

Ketika mereka begitu nyaman duduk di atas kursi empuk, dengan AC yang membuat kulit mereka tetap bersih, rakyat yang seharusnya menjadi bos mereka malah bekerja di tengah terik matahari yang menyengat, hawa panas dan bunyi-bunyi mesin dalam pabrik, ditambah terjangan ombak dan badai.

Semua perilaku mengalah selama ini, malah dibalas dengan tindakan pengkhianatan. Di masa pandemi, saat semua masyarakat kelimpungan dengan kehidupan diri sendiri karena kebijakan yang mencla-mencle, dengan tidak tahu dirinya mereka jadikan momen ini sebagai pelindung untuk segera mengesahkan RUU Ciptaker.

Tragedi ini membuat saya merasa waktu yang dikeluarkan untuk mempelajari materi PKN soal fungsi eksekutif dan legislatif begitu percuma. Sejatinya fungsi dua entitas ini adalah mengkhianati amanah rakyat. Simpel dan tidak perlu bertele-tele seperti yang tertulis di buku-buku PKN.

Kejelasan kasus HAM yang hanya sebatas jualan saat kampanye, nasib guru honorer yang makin terlunta-lunta, kebijakan penanganan pandemi yang kian mencla-mencle, serta berbagai kasus korupsi yang ditutup-tutupi membuat pengesahan RUU Ciptaker sakitnya sangat terasa di hati rakyat. 

Para buruh yang upahnya makin diskriminatif, para petani yang lahannya akan semakin digerogoti, para nelayan kecil akan kian terpinggirkan oleh nelayan kelas elit. Semua itu berkubang menjadi sebuah ekosistem penghianatan yang patut diingat.

Pengalaman adalah guru terbaik dan sekali lagi dua entitas publik yaitu eksekutif dan legislatif telah berhasil belajar dari pengalaman masa lalu. Pengalaman dijajah oleh VOC dan Jepang telah memberikan inspirasi kepada dua entitas ini untuk menjajah rakyatnya sendiri. Bila VOC dan Jepang melakukan penjajahan dengan ancaman senjata, dua entitas ini menjajah menggunakan regulasi. Rakyat dikhianati dan disiksa. Semua demi memuaskan nafsu oligarki.

Maka dari itu, mari bersepakat, bahwa 5 Oktober 2020 adalah momen bersejarah, menjadi momen berkabung untuk rakyat di negeri ini. Hari terjadinya pengkhianatan berskala nasional. Telah terjadi pengkhianatan yang mematikan harapan rakyat dan mengebiri hak-hak rakyat. Menjadi pengingat bagi anak cucu di masa depan bahwa sengkuni di dunia modern itu berwujud DPR.

“Bagaimana kalau anak sakit? Bagaimana obat? Bagaimana dokter? Bagaimana rumah sakit? Bagaimana uang? Bagaimana gaji? Bagaimana pabrik? Mogok? Pecat! Mesin tak boleh berhenti! Maka mengalirlah tenaga murah, Mbak Ayu Kakang dari desa disedot sampai pucat”- Wiji Thukul

Monday, September 21, 2020

BEBENAHLAH PENGUSAHA LAUNDRY!


Saya punya pengalaman tidak enak hati dengan salah satu laundry yang tidak perlu disebutkan namanya. Istilah Pemberi Harapan Palsu atau kerennya PHP cocok disematkan kepada pemilik usaha jasa cuci pakaian ini. Betapa tidak, berulang kali mendatangi untuk mengambil pakaian saya namun tak kunjung selesai.

“Bentar ya,” katanya. Saya tunggu beberapa menit sambil menikmati terpaan matahari ke dekat pintu. Ia beranjak mengambil telepon genggam dan mulai menekan layar menghubungi rekan satu timnya yang berada entah dimana. Sayang, kerjasama koorporasi yang mengeruk keuntungan dari orang malas mencuci ini tak berjalan mulus, tak ada jawaban.

“Nanti malam datang lagi ya bang,” sahutnya.

Lepas Magrib saya datang kembali ingin menagih janji Mbak petugas jasa laundry. Sesampainya di sana, bukan pakaian saya yang dapat, hanyalah pepesan kosong ditambah janji-janji manis. Ia hanya meminta maaf dan menyarankan datang besok harinya.

Masalahnya, nota yang saya pegang menyebutkan pakaian bisa diambil esok hari terhitung sejak saya antar. Ini adalah hari keempat saya memutuskan untuk mengambil pakaian. Sebab sudah kadung yakin tak bisa selesai sehari dengan paket cucian biasa.

Saya hanya bisa meratapi kekesalan memakai baju yang kadung sempit eks perut masih datar akibat stok baju sudah habis.

Pengalaman ini bukan sekali saja. Beberapa usaha sejenis mengikuti contoh kurang baik. Sehingga saya memutuskan menuliskannya di blog ini supaya tau bisa sebagai penyambung lidah rakyat.

Bagi para pemilik usaha laundry dimana pun berada, saya ingin beri saran agar kekesalan ini tak berlarut-larut dan menyelamatkan pelanggan Anda yang belum kena PHP. Tak menutup kemungkinan ada juga yang sudah menerapkan saran ini, mohon maaf mengingatkan lagi, saya kasih bintang lima saja.

Saya heran melihat telepon genggam super cerdas hanya dipakai untuk menghitung berat timbangan dikali tarif jasa kemudian menuliskannya ke selembar nota. Lalu menanyakan nama dan bayar sekarang atau nanti.

Sederhana saja, mintalah nomor HP pelanggan Anda. Hal ini bertujuan agar komunikasi yang baik dapat terjalin antara jasa dan konsumen. Tapi jangan disalahgunakan untuk aksi modusin Mbak atau Abang penjaga toko. saya tak tanggung jawab jika berujung ke pelaminan.

Pengusaha laundry lekas lah bergerak mengikuti era 4.0 ini. Jangan lagi hanya menanyakan nama itupun kadang bisa tertukar. Kebiasaan lain yang terjadi jika  ada beberapa nama yang sama bisa dijamin Mbak penjaga toko malah main tebak-tebakan.

“Boxer putih yang ada gambar Hello Kitty bukan ya,” memastikan pemiliknya.

Walau bukan sales aplikasi WhatsApp, saya menyarankan menggunakan ini untuk menjalin komunikasi. Sebab, untuk menekan biaya produksi kalau memakai SMS atau telepon langsung dari penyedia jasa telekomunikasi membutuhkan pulsa tidak sedikit.

Jika sudah mendapatkan nomor HP, beritahulah perkembangan baju dan celana pelanggan Anda sudah memasuki tahap mana. Tak perlu detail sekali seperti kapan mulai pemisahan-rendam-cuci-jemur-packing. Cukup kapan selesai. Atau jika pada waktu tertentu orderan sedang menumpuk kabari jika ada delay dari waktu siap yang sudah ditentukan.

Meski tak selalu real-time seperti Real Count KPU yang lengkap, rinci, lama, kadang kala ada kesalahan input, kami para pelanggan Anda hanya butuh Quick Count sejauh mana pakaian kami diproses. Kami pun bersedia deklarasi ke teman debat bubur diaduk atau tidak, kerjaan bahwa merekomendasi jasa laundry saudara dengan layanan prima.

Sebagai konsumen tentu merasa puas jika transparansi dibangun. Untungnya, usaha laundry tak dibiayai negara meski sama-sama kategori pelayanan publik. Sehingga, tidak bisa saya lapor ke Ombudsman Republik Indonesia. Om om yang satu ini tentu berkenan menerima laporan jika ada warga yang dirugikan atas  tidak patuhnya terhadap standar pelayanan publik.

Tirulah bisnis ritel yang menyediakan kartu member. Berguna untuk mengamankan pelanggan dari persaingan bisnis serupa. Lagi-lagi menghemat biaya produksi dengan tidak perlu mengeluarkan nota-nota seukuran tissue wajah setiap kali mengantar pakaian kotor. Agaknya lebih panjang untuk kolom biaya, tanggal pengantaran dan selesai. Bisa dipakai berkali-kali.

Jika ada rezeki berlebih boleh lah buat diskonan dengan syarat menunjukkan kartu member. Tapi jangan giveaway baju pelanggan lain, berbahaya.

Jika sudah terjalin komunikasi yang baik, sesekali kirim pesan siaran bagaimana pendapat konsumen terhadap jasa Anda. Apakah kurang rapi, parfumnya ditambah atau diganti jika mengingatkan seseorang yang dulu pernah ada hati. Ini perlu untuk evaluasi usaha Anda ke depan. Jangan mau kalah dengan abang ojol yang kita kasih bintang setelah gunakan jasanya.

Terakhir yang tak kalah penting adalah bertanggung jawab jika ada pakaian yang hilang. Suatu waktu, celana jeans biru saya tidak ada dalam plastik usai mengambil dari laundry. Hal ini baru diketahui usai sampai di kamar kost. Karena jarak yang terlalu jauh, esok hari baru saya menanyakan kehilangan barang. Abang yang jaga hanya kebingungan dan tidak bisa menjawab kemana ia pergi.

Nah, jika sudah mendapat nomor WA seluruh pelanggan, bisa langsung mengirim pesan siaran apabila menemukan celana dengan ciri-ciri sebagai berikut mohon diberitahu dan membawanya jika mengantar pakaian kotor lagi. Atau dijemput oleh pihak laundry. Ini upaya yang bisa dilakukan daripada hanya geleng-geleng kepala.

Kepada pengusaha laundry, lekas lah berbenah!


 

Friday, August 7, 2020

TENTANG KEBIASAAN MAKANAN

Banyak orang mudah bosan dengan makanan yang mereka makan, tapi tidak dengan saya.

Saya pernah bertanya kepada teman saya kenapa ia selalu berganti-ganti merek rokok. Jawaban yang ia berikan sangat diplomatis dan cukup memberikan perspektif baru bagi saya yang mantan seorang perokok. Rokok itu, kata kawan saya, serupa seperti makanan. Semuanya enak, tergantung dari siapa yang merasakannya.

Ia kemudian menjelaskan, bahwa kebiasaannya berganti-ganti merek rokok seperti halnya ia berganti-ganti makanan yang ia makan.

“Gue ada sih rokok yang tetap, tapi kadang bawa rokok merek lain, buat sampingan,” terangnya, 

“Lo kalau makan di warteg sama tempe oreg seminggu berturut-turut kan pasti bosen juga kan?”

Saya mengangguk. Walau sebenarnya, saya tidak setuju dengan pernyataanya dia sebab saya adalah tipikal orang tak mudah bosan pada makanan. Saya bisa dan sanggup makan menu warteg dengan tempe oreg basah selama seminggu berturut-turut. Setiap hari dengan tetap berselera.

Pertanyaan tentang relevansi makanan dan rokok itu kemudian membawa saya pada perenungan tentang kebiasaan  saya yang ternyata tak pernah bosan pada satu makanan tertentu.

Dulu, sekira tiga tahun lalu, saya hampir setiap hari selalu makan siang dengan ayam gebuk pak gembus. Menu nasi ayam goreng dengan perpaduan sambal kacang bawang yang saya temukan saat pulang kerja di sekitaran daerah Rawabelong Kebon jeruk. Pertemuan saya pada Ayam gepuk pak gembus yang kemudian memulai hari-hari saya berikutnya dengan sebuah rutinitas yang sama.

Enam bulan berikutnya, nggak di kantor, kampus atau dirumah saya selalu makan dengan menu tersebut, entah siang atau malam hampir tak pernah ganti-ganti. Dan ajaib, saya benar-benar tak pernah bosan dengan itu.

Sepupu saya kemudian ikut-ikutan untuk mencoba ayam tersebut. Dan pada kenyataannya, dia juga ketagihan. Namun dia ternyata punya batasannya sendiri. Baru dua hari makan dengan ayam gepuk pak gembus, di hari berikutnya, sudah memilih menu lain.

“Bosen, dari kemarin pak gembus terus,” kata sepupu saya. “Lo nggak bosen?”

“Enggak.”

Dan kebiasaan itu terhenti saat saya merasa sakit perut selama lima hari lantaran setiap hari selalu makan dengan takaran sambal pedas. Pada akhirnya saya harus mengurangi, setidaknya seminggu sekali.

Saya lantas mencoba untuk mengingat masa-masa lalu saya dan memang pada kenyataannya saya sudah sangat akrab dengan ketidakbosanan atas makanan tertentu Saat SMA, hampir selama tiga tahun saya selalu sarapan lontong sayur  dan tempe glepung yang dijual oleh Mbak Yuyun tetangga saya. Begitu pula saat saya pertama kalinya merantau di Tangerang di mana setiap hari menu yang saya makan adalah nasi padang dengan kikil.

Tidak munculnya rasa bosan dalam diri saya tersebut kemudian menjadi sebuah polemik tersendiri setelah saya berpacaran dengan Anisa. Anisa adalah tipikal orang yang sangat eksploratif dalam urusan masak. Setiap hari, ia selalu mencoba menu-menu baru untuk ia masak. Dan tentu, tidak semua masakan yang ia masak saya suka, khususnya menu masakan Italia yang ada kejunya seperti spageti,macaroni dll yang tidak begitu cocok dilidah saya. Namun sekali saya suka masakannya, saya bisa memakan masakan tersebut berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lamanya. Saya suka sop daging, sambel terasi, tumisan sayur atau segala osengan yang dimasak oleh Anisa. Itulah kenapa, kalau Anisa bertanya hari ini ingin dimasakin apa, jawaban saya selalu saja sama aja, asal jangan masakan yang ada kejunya.

Apakah ini membuat saya tersiksa? Entahlah. Yang jelas, saya selalu merasa nyaman-nyaman saja makan makanan yang saya suka berulang-ulang ketika kawan-kawan lain sudah mencoba banyak menu makanan beraneka ragam.

Yah, setidaknya, dengan kebiasaan ini, bisa jadi hal yang pas buat ngasih gombalan klasik kepada Anisa

 “Sama makanan aja aku setia, apalagi sama kamu.”

Wednesday, July 22, 2020

MEMORI LAGU

Kadang  otak saya mengingat detail-detail yang trivial dari suatu kejadian. Saya tidak punya kemampuan visual yang baik. Penciuman dan indera perasa juga kurang peka. Alhasil yang lebih sering saya ingat adalah bunyi…

Musik.

Waktu itu saya masih SD. Kelas 4 atau 5, saya lupa persisnya. Sekeluarga berempat pergi dari rumah ke tempat mbah uti dengan mobil kijang rental dari kerabat Bapak. Bapak memegang setir, ibu di sampingnya. Seingat saya, adik perempuan saya duduk di kursi belakang sebelah kanan, dan saya kedapatan di belakang ibu. Waktu itu adik laki – laki saya masih dalam proses perencanaan produksi.

Sepanjang jalan kami menikmati lagu – lagu nostalgia yang menjadi lagu wajib keluarga kami, ada D’lloyd, koes plus sampai lagu campursari Didi kempot.

Saya ingat menjulurkan badan ke ruang di antara kursi bapak dan ibu, berusaha membuat mereka dengar suara saya yang menyanyi mengikuti lagu apa salahku dari D’lloyd yang saat ini sedang di produksi ulang oleh Betrand Peto. Lagu itu membawa saya pada masa dimana kami menikmati kemesraan di keluarga.

Entah lagunya dari kaset atau radio. Suara  Syamsuar Hasyim beradu dan mengalun. Saya menimpali dengan suara bocah saya, mengikuti lirik padahal tak paham maksud dari penggalan lirik tersebut.

Ibu dan bapak asyik mengobrol. Waktu saya tanya apa mereka dengar saya menyanyi, mereka bilang tidak.

Penting? Nggak. Tapi entah kenapa teringat sampai sekarang. Memori itu aneh ya.

PERTANYAAN KEPO

Tempo hari saya datang ke minimarket buat belanja. Mbak penjaga tokonya ngajak ngobrol sambil menunggu proses pembayaran.

“Mas Istrinya gak di ajak?”

Saya ketawa. “Saya belum nikah mbak”

“waduh dari mukanya saya gak percaya mas” sambung dia.

Ya saya jawab apa adanya. Memang saya belum menikah, perihal muka kelihatan tua itu karena faktor kumis dan jenggot yang lebat saja. Mbaknya bilang “oh” dan kelihatan agak malu.

Saya sih santai aja. Kadang ada orang yang merasa tersinggung dengan pertanyaan seperti itu, menganggapnya mengusik privasi, kepo, dan sebagainya. Tapi saya coba pakai sudut pandang lain. Siapa tahu mbaknya ada niat baik, mau menawarkan cukuran jenggot supaya wajah saya bisa terlihat lebih fresh dan muda. Atau mungkin dia sedang butuh cerita dan saran dari mas mas muda dengan tampang tua, jadi dia mau tanya-tanya. Toh nada mbaknya terdengar tulus waktu dia bertanya. Saya juga yakin kalau kebanyakan orang tidak ada maksud buruk ketika mengajukan “pertanyaan-pertanyaan kepo” seperti itu. Masa iya sih mbaknya sengaja memprovokasi saya, seorang pelanggan di tokonya.

Setelah itu kami lanjut ngobrol. Ya santai aja. Setelah transaksi belanja, kami berpisah dengan senyum.

Kadang kita bisa meminta orang lain untuk berhenti mengajukan pertanyaan kepo, tapi sering kali ini tidak bisa dihindari. Kadang kita yang harus mengubah cara pandang kita dan cara kita menanggapi pertanyaan-


Sunday, June 21, 2020

BIASA SAJA

Begitu banyak peristiwa yang terjadi belakangan ini. Ada putusan jaksa untuk  air keras yang katanya tidak sengaja menghadiri wajah tokoh anti korupsi Novel Baswedan. Ada warisan humor Gus Dur yang bikin cilaka. Ada Eka Sila. Ada Omnibus Law yang mendadak tiba di terminal akhir. Covid 19? Tidak perlu ditanya, berita itu masih menjadi bagian empuk sorot jurnalistik untuk menjadikan salah satu liputan primadonanya. Belum lagi berita tentang dokter, pasien yang meninggal akibat pandemi. Juga dengan keramaian CFD Jakarta saat dibuka pertama kalinya sejak pembatasan wilayah berskala besar dilonggarkan kembali.

Covid 19 mengubah segalanya kehidupan kita. Pemerintah membuat sebuah peraturan yang biasa kita sebut dengan New Normal. Harapanya semua masyarakat bisa memulai kembali roda ekonomi dan kehidupan baru yang sebagian besar diatur sesuai dengan protocol kesehatan untuk menghindari penyebaran Covid-19. Alih alih membut sebuah kebijakan baru, nyatanya kebijakan ini hanyalah sebuah panduan. Masyarakat tidak diajak untuk mendalami perubahan normal dari pemikiran. Jalan-jalan sudah penuh,padat. New normal sudah normal atau tanpa new? Jumlah penderita baru Covid-19 naik. Sudah dua hari terakhir di atas 1.000 orang/hari. Lebih tinggi dari yang lalu-lalu.

Dibidang pendidikan tak ayal menjadi salah satu topik menarik untuk tidak dilewatkan. Di perguruan tinggi swasta banyak mahasiswa yang mengeluh akibat pemotongan biaya kuliah yang tak kunjung diberikan. Namun Yang menjadi perhatian Kemendikbud membuat sebuah kebijakan untuk memotong biaya kuliah di perguruan tinggi yang hanya ditujukan kepada perguruan tinggi negeri. Lalu bagaimana dengan jutaan mahasiswa perguruan tinggi swasta? Nasib mereka terlantung-lantung menunggu kebijakan internal kampus yang tak kunjung jua dikeluarkan. Alih-alih menunggu, banyak mahasiswa yang memilih untuk mundur dan tidak melanjutkan kembali.

Segala aspek kehidupan dinegara ini sedang retak, harapan pada Pemerintah agar tidak gegabah dalam memberikan sebuah kebijakan sangatlah besar. Masyarakat sudah cukup lelah dengan peraturan yang dalam penerapan dilapanganya cenderung asal asalan dan tidak tepat sasaran. Kartu prakerja yang dinilai terlalu memaksa terus dijalankan. Lingkungan oligarki senang, masyarakat meradang setelah tau proses seleksi untuk pengisi konten pada prakerja tidak pernah dibuka dan diketahui oleh publik.

Barangkali benar apa yang dikatakan Cak Nun bahwa Indonesia memang sudah ditakdirkan menjadi negara yang biasa-biasa saja. Pemerintah yang biasa saja melihat pandemi ini yang semakin hari semakin bertambah kasusnya, biasa saja melihat putusan hakim pada kasus Novel Baswedan seraya BuzzeRp berceloteh di sosial media dan meyakinkan bahwa itu putusan sudah dengan proses yang sangat adil, DPR biasa saja tanpa ada rasa prihatin dengan keadaan masyarakat saat  ini dan terus ngebut mengesahkan UU Omnibus Law.

Jadi bagaimana ini Pak Jokowi ?

“Biasa saja” dengan tawa khasnya.


Monday, June 8, 2020

NEW NORMAL YANG TIDAK NORMAL

Sudah beberapa hari ini kita dibombardir dengan apa yang disebut Kenormalan Baru (New Normal), tapi jika kita teliti lebih lanjut, semua hanya berupa petunjuk teknis bagaimana melaksanakan normal baru itu, tanpa perubahan dan cara pandang baru. Kita diminta menjaga jarak, memakai masker, rajin mencuci tangan, dan sejenisnya. Namun, kita tidak diminta untuk merefleksikan dengan cara pandang baru bahwa jika kita serakah dan gegabah terhadap alam, alam akan memberi kita hukuman. Dan bisa jadi, hukuman ke depan, lebih keras dari corona. Lebih mematikan. Lebih membuat kita menderita baik secara fisik maupun psikis.

Apakah normal baru diiringi oleh kesadaran baru? Dan apakah kesadaran baru diikuti dengan tata aturan baru? Kenapa pemerintah tidak segera membuat semacam renungan nasional yang mengakui bahwa kita bangsa Indonesia, selama ini ikut serta bersama bangsa-bangsa lain, mengeksploitasi alam secara berlebihan, dan karena pandemi corona ini maka kita sebagai sebuah bangsa menyepakati akan menjadi salah satu pelopor untuk usaha bersama agar perusakan alam segera dihentikan. Setelah itu diikuti dengan sekian aturan baru yang lebih ketat, yang terutama berurusan dengan tambang, pertanian homogen skala luas, pemakaian bahan bakar fosil yang masif, dll.

Jangan-jangan tidak ada pelajaran yang bersifat lebih etis dan paradigmatik soal pandemi corona ini. Sehingga diamnya kita, lesunya kita, puyengnya kita, itu hanyalah jeda sementara, yang kelak akan membuat kerusakan yang lebih besar di bumi ini.

Kemudian ketika kita kelak akan mengalami semacam pandemi corona yang lebih mematikan, kita kembali menangis melolong, menyesal, dan terlihat begitu bodoh. Namun sayang, ketika hal itu terjadi lagi, kita semua sudah telat. Lalu alam akan meninggalkan kita dengan mengumpat: dasar manusia tak tahu diuntung!

Wednesday, April 22, 2020

COVID-19 DAN LARANGAN MUDIK


Tentu kita semua berusaha menebarkan jala penuh harapan dalam menghadapi pandemi corona ini. Tapi harapan yang kita inginkan terjadi hari ini ternyata tak terjadi. Beberapa hari lalu Presiden jokowi sudah mengumumkan larangan mudik idul fitri. Melihat banyaknya warga Indonesia yang tidak mengikuti imbauan pemerintah, langkah tegas diambil. Meski langkah ini terhitung telat, tapi setidaknya ada aturan tegas.

Larangan mudik ini, dilihat dari segi pencegahan, adalah langkah tepat. Tapi kalau dilihat dari segi budaya dan sosial, langkah ini bisa dianggap bencana. Setidaknya bagi ibu saya.

Makin hari, makin banyak pula orang yang kehilangan pekerjaan. Banyak bisnis yang terpuruk. Ketakutan dan kepanikan makin terlihat di sudut-sudut kehidupan. Tentu, ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia lain, semua bertarung melawan corona, dan mungkin baru sebagian kecil yang mencicil lega. Itu pun harus kembali waswas. Di Korea Selatan, negara yang dianggap cukup tangguh menghadapi corona, mesti mendapatkan fakta baru, yakni orang-orang yang sudah dinyatakan sembuh dari serangan virus itu bisa kembali diserang. Sistem imun pasca-kena corona, dipertanyakan ulang.

Tentu larangan mudik ini dari sisi penjegahan membuat kita sedikit optimis. Kita mungkin sudah bosan dengan air mata dan kesedihan, juga rontoknya harapan. Mungkin kita mulai malas memutakhirkan data berapa jumlah korban yang jatuh setiap hari entah di negeri ini atau di luar sana. Tapi mau kita baca atau tidak, fakta-fakta itu terus bicara dengan cara yang khas: kaku tak terbantahkan.

Saat larangan mudik resmi dikeluarkan, saya langsung mengabari ibu. Saya bilang kalau Lebaran nanti kemungkinan tidak mudik. Tidak butuh waktu lama ibu saya langsung menelepon sambil menangis. “Yah mas, masa Lebaran ra weruh kamu. Masak ya tega,” kata ibu saya.

Remuk pertahanan saya.

Ada sedikit penyesalan setelah lapor kepada ibu. Niat saya simpel, saya kasih tahu sekarang agar ibu bisa siap. Lagian, cuti bersama Lebaran dipindah ke bulan lain. Tapi ibu saya tetap saja susah menerima. Saya jarang pulang selama merantau dan sudah 7 tahun saya merantau. Lebaran jadi momen yang benar-benar penting bagi ibu saya. Tahan dulu emosinya. Ibu saya tahu kalau corona ini bukan masalah sepele. Tapi susah juga bagi orang tua untuk tidak melihat anaknya di hari Lebaran.

Betapa susah menahan rindu kepada orang tua. Namun, kesabaran menahan rindu akan jadi berkah di masa depan. Ketika egois dan keras kepala melanggar larangan mudik, kita justru jadi orang jahat. Bukan tidak mungkin kita malah menularkan virus corona di sebuah tempat terkasih yang kita sebut: rumah.

Meskipun memang, kalau ibu sudah menangis, pertahanan siapa yang tidak jebol. Melihat dan mendengar ibu menangis itu jauh lebih menyanyat hati ketimbang diselingkuhin lalu ditinggal nikah.

Sebelum telepon saya tutup, saya cuma bisa menenangkan ibu bahwa jika Tuhan berkehendak, saya bisa mudik. Semoga kamu semua yang nggak bisa mudik diberi ketabahan, ya. Doa terbaik dari saya untuk orang tua kalian. Semoga selalu diberi kesehatan dan kesabaran.

Belum lagi dengan Anisa, saya suda hampir satu bulan tidak bertemu. pertemuan yang setiap hari kita lakukan kini hanya tinggal membekas lantaran Corona. Yang harus menjadi kesedihan rencana pertunangan kami juga harus diundur yang sedianya akan kita lakukan setelah lebaran idul fitri.

Sekarang yang harus kita lakukan adalah kerjakan sesuatu dengan yang terbaik, bersiaplah yang terburuk. Begitu aturan utama orang dalam mengatur strategi di kehidupan ini. walaupun Semua yang terbaik sudah kita berikan. Energi, pikiran, uang, dan semua modal sosial yang kita miliki sudah kita taruh di atas meja perjudian. Masalahnya adalah yang terburuk itu sudah tidak bisa kita ukur dan bayangkan lagi.

Kita tahu batas modal yang kita miliki. Tapi kita tak pernah tahu seberapa dalam kekalahan akan membuat lubang di hidup ini. Ini jenis perjudian yang bukan hanya akan menyita seluruh modal yang kita punya. Sebab misteri kekalahannya masih begitu misterius dan sunyi.

Sialnya, kita bahkan tak tahu bagaimana cara mengibarkan bendera putih. Kita tidak bisa menyerah agar permainan dihentikan. Corona tak mau berhenti, dan persabungan ini harus terus berlanjut lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Tuesday, April 7, 2020

COVID-19 VS UANG SEMESTER


Dihentikannya kegiatan perkuliahan karena virus corona menimbulkan banyak masalah. Selain kuliah online yang dianggap tidak efektif, masalah lain yang muncul adalah tentang bayaran uang semeseter. Pasalnya sebagian mahasiswa kelas karyawan yang memang membayar uang semester dari hasil kerjanya mengalami penurunan penghasilan karena pemangkasan gaji serta banyak yang terkena PHK dari Perusahaan tempat mereka bekerja. Dari hal tersebut banyak mahasiswa meminta untuk uang semester digratiskan atau setidaknya diberi diskon.

Tapi apakah mungkin?

Sebenarnya, bisa. Sesuai SE PLT Dirjen Dikti dengan nomor surat 302/E.E2/KR/2020, pimpinan Perguruan Tinggi diberi otoritas penuh untuk mengambil keputusan terkait kebijakan yang paling pantas dan sesuai untuk tiap universitas. Keputusan ada di tangan para rektor Universitas di mana kita menjalani kuliah.

Tapi seharusnya memberikan potongan atau menggratiskan biaya semester adalah kebijakan yang harus diambil. Dampak virus corona yang masif membuat semua orang kesulitan dalam hal ekonomi. Banyak usaha yang mengalami penurunan pemasukan, dan beberapa perusahaan memotong gaji para karyawan. Praktis ini membuat banyak mahasiswa harus benar-benar mengatur uang yang mereka punya untuk bertahan hidup.

Tapi masak ya nggak punya tabungan untuk bayar semesteran? Ya ada, tapi bukan berarti uang itu semata untuk bayar semesteran saja. Belum tentu juga dalam 2-3 bulan ke depan wabah ini membaik dan kegiatan ekonomi berlangsung normal. Situasi yang dihadapi ini datang mendadak, tidak ada negara yang siap menghadapi ini, apalagi para mahasiswa karyawan yang mengandalkan uang bayaran semester secara mandiri.

Dampak yang dirasakan tidak mengenal kalangan. Jika tidak dipotong atau digratiskan, mahasiswa merasakan dua kerugian. Pertama semester sekarang yang berlangsung tidak optimal. Kedua, semester depan pun tidak menjamin akan berjalan normal. Jika tetap harus membayar sesuai angka normal, beban yang harus ditanggung benar-benar berat.

Belakangan kampus - kampus seakan membuat kebijakan terhadap dampak Virus corona ini. Contohnya, tunjangan kuota untuk para pegawai dan mahasiswa untuk kegiatan kuliah online. Jika satu kampus memulai tindakan tersebut, kampus lain kemungkinan akan mengikuti.

Bijaknya memang Universitas tidak mengambil keuntungan atau merencanakan pembangunan dalam waktu dekat. Melihat keadaan yang ada, tidak elok rasanya tetap memaksakan mahasiswa membayar dengan penuh. Di titik ini, logika kapitalisme harus dikesampingkan dan mengedepankan kemanusiaan.

Memotong atau menggratiskan uang semesteran seharusnya bukanlah beban bagi Universitas. Universitas pun terkena dampak dari corona, dan harusnya terlintas juga di pikiran mereka bagaimana dampaknya ke mahasiswa. Pembangunan atau hal lain yang tidak mendesak harusnya tidak menjadi alasan untuk memaksa mahasiswa membayar penuh.

Saat ini adalah saat paling tepat untuk para petinggi universitas untuk mendengar suara mahasiswa. Dan mereka juga harusnya tau, ini bukan perkara uang semester, tapi juga perkara kemanusiaan.


Friday, March 27, 2020

SURAT UNTUK SITI


Sabtu malam sehabis hujan tapi gerah Fahri menyusuri koridor kedai kopi langgananya dengan tergesa gesa. Setelah menyapa dan memberi kode kepada barista untuk membuatkan Caramel Machiato kesukaanya fahri meneruskan langkah menuju tangga yang membawanya ke lantai dua.

Tidak ada yang spesial dengan suasana lantai dua. Sebagian meja sudah terisi, pengunjungnya beragam. Di sudut ruangan lantai dua ada sepasang wanita dan laki-laki, gayanya biasa saja, tangan sang lelaki sedang memegang tangan wanitanya dengan muka panik seraya sedang meyakinkan dirinya atas tuduhan perselingkuhan. Di depanya ada pasangan lelaki tua dan gadis remaja cantik yang terlihat seperti anak dan orang tua. Aneh memang, namun nyatanya ini sering terjadi dan menjadi keunikan di kota ini.

Dari pengeras suara kedai terdengar suara Tulus, yang hampir selalu diputar dikedai ini. Apalagi kalau bukan lagu teman hidup.

Setelah duduk dan mengambil ransel kemudian menyalakan laptop, fahri membuka Email dan mulai menulis sesuatu yang membuat hatinya kalut selama dua bulan ini, sesuatu untuk perempuan yang sangat ia cintai.

Subj : MAKA (MAaf dan KAngen)
Sit,
Sebelumnya saya mau minta maaf dulu. Kenapa alih alih ngajak ketemuan, saya malah nulis email kayak gini.

Jawabanya sama – sama kita tahu sit.
Saya capek berantem, dan kamu pasti lebih capek lagi.
Kalau kita ketemu dan ngomongin ini sekarang yang ada malah berantem lagi, ribut lagi, diem dieman lagi dan gitu terus sampai kita gak tahu kapan selesainya.

Sit,
Sudah berapa lama kita Cuma menduga – duga, ngebiarin hati dan pikiran kita bermain – main, kemudian akhirnya kita jadi begini – begini saja?. Saya disiksa prasangka sendiri, kamu dibakar cemburu nggak jelas.
Gitu terus gak kelar kelar.

Sit,
Saya sayang kamu banget.
Kamu cantik, kamu pinter walaupun ketek kamu bau bawang kamu adalah jawaban dari semua doa saya. Kamu cita – cita terbesar saya, mimpi saya dan rancangan masa depan saya. Dan saya sangat beruntung kamu mau sama saya yang kata orang saya sedikit gila karena gosok gigi hanya sebulan sekali.
 
Tapi sit,
Kamu ingat, berapa kali saya dan kamu terus bertengkar Cuma gara- gara dunia kita berbeda. Kamu dengan dunia Korea kamu yang selalu meyakini bahwa Kim jong un pantas menjadi member baru BTS, atau saya yang selalu beranggapan bahwa Lucinta luna adalah titisan dewi kecantikan yang gak pernah percaya bahwa dia adalah lelaki.
Tapi apa nggap capek kita gini terus? Awalnya saya mengira, semua bisa berubah. Saya pikir kamu dan saya akan berubah dan perlahan menyesuaikan satu sama lain. Saya belajar paham dunia kamu, dan kamu belajar menerima dunia saya.
 
Tapi ternyata susah ya sit,
Cinta memang nggak semudah kalimat-kalimat puitisnya anak twitter. Tapi jujur saya menikmati semua momen indah kita. Kamu ingat nggak waktu kita berdua lagi makan Pizza terus kamu ngambek gara-gara gak bisa makan pizza kalau nggak pake nasi?.  Dengan tanggap Saya langsung nyari nasi di warteg, lalu saat saya datang ternyata pizza itu sudah habis kamu makan sama kardusnya. Sakit sih saat perjuangan gak dianggap, tapi bagi saya itu indah sit.

Sekarang bagian paling cemenya.
Dulu saya berfikir ada beberapa hal yang gak bisa dipaksakan, mungkin kita salah satunya. Tapi sekarang saya sadar ada beberapa hal juga yang sangat layak diperjuangkan, kita salah satunya.

Sit,
Saya minta maaf, kita pacaran lagi yuk. Saya nggak akan banyak berjanji kali ini, basi aja kalau email ginian masih ditutup pake janji.
Kita pacaran lagi, kita mulai dari awal lagi. Gimana ?

Aku yang menyayangimu

Fahri.
 
Fahri tersenyum, lalu membaca email itu sekali lagi untuk memastikan tidak ada kesalahan, lalu bersiap menekan tombol send, sampai kemudian sebuah tepukan lembut mendarat di pundaknya.
“udah nulisnya?” kata si penepuk.

Fahri menengok ke asal suara. Siti, pemilik suara dan nama di atas subjek email. Sosok cantik berkerudung terlihat berdiri dibelakangnya.

“Kenapa nggak bilang kalau mau kesini?” tanya Siti sambil tersenyum. “yang kamu tulis itu buat aku kan?”

Buru – buru fahri menutup laptopnya, menarik kursi didepanya lalu mempersilahkan Siti duduk.
“Begini, Sit...”

Wednesday, March 18, 2020

KRITIK UNTUK ORGANISASI INDUK


Tulisan ini saya tujukan untuk para Pemimpin Esa Unggul Eksekutif Club (E2C) Univeristas Esa Unggul yang telah ditunggu realisasi dari visi dan misinya.

Hari ini menjadi pukulan telak bagi saya dan anggota Ukk Pers E-Times karena dianggap menjatuhkan kredibiltas Organisasi akibat mengkritik Organisasi Induk dalam bentuk produk jurnalistik berupa Opini. Pertanyaanya adalah ketika E2C mengesahkan kami sebagai UKK Pers apakah E2C tidak mempertimbangkan sebuah resiko bahwa akan ada organisasi yang dinaunginya mengkritik lewat media.

Tapi saya tidak akan menjelasakan permasalahan tersebut, biarkan nanti ini menjadi bahan diskusi kami dan para pemangku kepentingan untuk membuat sebuah forum mengenai perihal tulisan yang E-Times buat.

Ada banyak sekali permasalahan – permasalahan yang belum disentuh oleh E2C dalam periode berjalan ini. Saya masih ingat, saat awal kepimimpinan Zidane saya diberikan kesempatan untuk mewancarainya, saat itu ia menyebutkan akan bersifat responsive terhadap isu luar dan dalam kampus. Namun, dari pembacaan saya sejauh ini, belum ada gerakan taktis dari  ketua umum dan jajarannya untuk bergerak secara efektif untuk berkontribusi memajukan bangsa pada umumnya, dan mahasiswa UEU pada khususnya.

Sebagai mahasiswa. kita seharusnya memang responsif untuk melihat isu-isu nasional yang berkembang saat ini. Lembaga kemahasiswaan harus bisa merangkul kawan-kawan mahasiswa agar saling bekerja secara kolektif untuk mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat.

Lalu bagaimana mahasiswa bisa hidup biasa-biasa saja atau malah diam disaat pendemik Corona yang mengancam keberlangsungan hidup banyak orang?. Menurut saya, bukan seperti itu menanggapi sebuah isu sebagai seorang mahasiswa. Sebagai mahasiswa, seharusnya menganggap bahwa semua masalah adalah setara dan perlu diselesaikan.

Hampir nyaris tidak pernah ada isu dalam maupun luar kampus yang menjadi konsen atau kajian khusus E2C untuk ikut terlibat menyelesaikanya. Kami sangat berharap E2C juga ikut menentukan skala prioritas dalam memecahkannya sebuah isu yang terjadi didalam maupun diluar kampus. Setelah mengkaji dan menentukan skala prioritas, lalu bergerak untuk secara kolektif dan menyelesaikannya. Sebab, salah satu alasan negara akan maju tergantung seberapa besar peran mahasiswa dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan umat dan bangsa.

Zidane sebagai Ketua tentunya paham betul dengan permasalahan mahasiswa UEU kelas Eksekutif, tentunya kita berharap ada sedikit harapan untuk E2C agar tidak selalu diam ketika ada isu didalam dan diluar kampus yang sedang terjadi. E2C bukanlah Event Organizer yang hanya menjadi penyedia dan penyelanggara event dan seminar kampus.

Zidane harus mampu mengkontrol para anggotanya pula agar selalu selaras, tidak mempertontonkan ketidak sepahaman di depan anggota Himma dan Ukk seperti yang terjadi saat Raker kemarin. Juga mampu mengendalikan tutur kata dari anggotanya agar tidak menjadi boomerang bagi E2C sendiri.

Skala prioritas dalam mengadvokasi sebuah isu harus digunakan secara kritis. Terutama dalam menganalisis dampak dan kepentingan isu yang terjadi. Sebab, sebagai organisatoris yang juga menjadi ujung tombak pergerakan Himma dan Ukk, harus mampu mengarahkan agar dapat berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini juga amanat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang salah satunya termaktub pengabdian pada masyarakat.

Sekali lagi saya tegaskan tidak ada tendensi apapun yang saya dan teman – teman E-Times lainya lakukan. Kami hanya merasa kesal dan lelah dipertontonkan ketidak harmonisan Internal E2C dan melihat perkembangan program yang itu – itu saja. Ini bentuk kepedulian kami agar induk organisasi kami kembali baik – baik saja dan bisa berinovasi.

Saya harap, Zidane Ketua Umum E2C mampu bersifat responsif secara ideal. Tidak bersifat responsif hanya berupa status di media sosialnya saja, dan yang menjadi persoalan bisa diimplementasikan dalam bentuk tindakan. Salam hormat dan sayang saya untuk Zidane dan semua Anggota E2C. Besar harapan saya agar Ketua Umum E2C mau membalas kritik saya, baik dalam bentuk tulisan, atau pun forum diskusi.

Sunday, March 15, 2020

SURAT DARI PEMBACA (TAKUT NEMBAK TAKUT DITOLAK)


Tanya

Hai Bang Kumis yang Rupawan. Perkenalkan nama saya Ramadhan, tinggal di kota Jakarta, usia 20 tahun, belum menikah, dan siap menikahi wanita mana pun yang mau.

Begini, sudah sejak lama saya ingin curhat di Kodok Kumis. Berkali-kali saya mencoba menulis surat, tapi selalu urung terkirim karena malu dan juga biasanya saran dari Bang Kumis bukannya menyelesaikan masalah, malah tambah bikin pusing.

Langsung aja ya. Di usia emas bagi pemain sepakbola ini, saya belum pernah merasakan nembak cewek seringnya saya di tembak. Kalo jatuh cinta sih sering ya …. Tapi ya itu, saya terlalu takut untuk mengungkapkan, karena memiliki perasaan takut ditolak.

Walaupun saya memiliki paras yang lumayan, ditunjang dengan body yang proporsional, tetapi saat berhadapan dengan wanita saya selalu “ciut”. Sudilah kiranya Abang berbagi tips agar saya bisa percaya diri, tidak takut untuk mengungkapkan perasaan pada yang saya taksir.

Segitu saja surat dari saya. Semoga mendapat jawaban yang memuaskan ….

Jawab

Dear Ramadhan yang mentalnya tak setangguh namanya ….

Begini mas Ramadhan yang mentalnya tak setangguh namanya. kamu pengin pacaran, tapi malu dan takut ditolak. Ha ngimpiiii… Itu sama seperti kamu pengin kenyang tapi nggak mau makan. Pengin tampil setil dan klimis tapi nggak mau jungkatan. Pengin pinter tapi nggak pernah mau baca buku.

Mas Ramadhan, camkan ini: “Bila kau berani jatuh cinta, kau juga harus berani cintamu jatuh”. Itu quote yang berkali-kali saya pakai , tapi saya tak pernah bosan untuk menggunakannya. Karena apa? Ya karena saya selalu mendapat curhatan macam begini dari manusia-manusia macam kamu ini.

Mas Ramadhan, Lelaki itu menang nembak, dan perempuan itu menang nolak. Itu sudah rule-nya. Kecuali kalau kamu memang cukup mempesona, kaya raya dan flamboyan sehingga sampai ada perempuan yang terkintil-kintil dan rela dengan apapun. Namun jika hal itu masih mustahil bagi kamu, ya mau nggak mau, kamu harus memberanikan diri untuk nembak. Bukankah katanya kamu punya paras tampan, punya body yang menunjang?

Mas Ramadhan, saya kasih tahu, saya ini nggak punya paras yang lumayan seperti kamu (jujur, saya masih ragu dengan pengakuan kamu), tapi puji Tuhan, saya punya mental yang lumayan. Saya berani nembak perempuan yang saya suka pertama kali di usia yang ke limabelas, lebih tepatnya pas saat saya SMP. Jawabannya sudah barang tentu kamu dan segenap pembaca tahu: Ditolak (pake “mentah-mentah”). Sedari awal, saya memang sudah memperkirakan itu. Sebab, tujuan saya nembak memang bukan sekadar agar diterima, namun juga sebagai pengalaman. Sakit? ya sakit pasti, namanya juga ditolak.

Nah, pengalaman berikutnya malah lebih memprihatinkan. Saya ditolak bahkan sebelum saya sempat nembak. Pengalaman-pengalaman menyakitkan itulah yang kelak kemudian sedikit banyak membuat saya belajar, bagaimana cara mendekati perempuan. Sungguh, pengalaman adalah guru yang baik. Sudah baik, nggak pernah nagih uang SPP juga.

Pengalaman-pengalaman itu saya percaya sebagai pembawa hal baik. Dan waktu memang membuktikan, setelah berkali-kali ditolak, toh saya akhirnya bisa punya pacar juga. Saya menembak perempuan berkali-kali. Ditolak berkali-kali. Dan tentu, semuanya dimulai dari berani nembak, dan berani ditolak.

Nah, saran saya. Mulai sekarang, cobalah untuk lebih berani. Ingat, orang berani adalah orang yang takut, sebab keberanian memang muncul akibat kemenangan atas ketakutan. Nah, bagaimana caranya agar tidak takut ditolak? Yakinkan diri kamu bahwa setiap lelaki punya daya tariknya masing-masing. Daya tarik yang hanya dimiliki lelaki tertentu dan hanya manjur untuk menarik perempuan tertentu. Dan untuk mengetahui siapakah wanita tertentu itu, caranya hanya satu: gambling.

Layaknya dadu, untuk mendapatkan angka 3, kamu terkadang harus melemparkannya berkali-kali dahulu. Terkadang, ada penjudi yang di lemparan pertama langsung mendapatkan angka 3, tapi kebanyakan penjudi mendapatkannya setelah lemparan yang kesekian kalinya.

So, mulailah melempar dadu kamu. Mulailah menembak. Mulailah belajar mengungkapkan perasaan. Jangan diniatkan untuk diterima, niatkan lah untuk cari pengalaman. Kalau ndilalah nanti diterima, ya sukur, itu bonus, bonus karena kamu mendapatkan angka 3 di lemparan yang pertama. Kalaupun nanti ditolak, itu juga bonus, sebab kamu mendapat dua pengalaman: pengalaman nembak, dan pengalaman ditolak.

Aduuuh, dunia kok indah betul ya. Sudah ya mas Ramadhan, Saya mau ke rumah Anisa dulu, mau nemenin dia beli lipstik sama bedak.

Wednesday, March 11, 2020

PERKARA PEKERJAAN DAN ORANGTUA


Kalau pekerjaannya Polisi, Dokter, TNI, Guru, tentu mudah untuk menjelaskannya kepada orangtua, tapi kalau Buzzer, Influencer, Freelancer, dan -er -er lainnya, tentu tak semudah itu.

Saya sedang duduk di sebuah warung penyetan pecel lele saat makan siang, saat menunggu pesanan makanan saya datang, sebab saat itu, baru teh anget dan air kobokannya saja yang sudah disajikan di atas meja. Di seberang saya, duduk seorang lelaki setengah baya yang juga sama-sama sedang menunggu pesanannya datang. Mungkin karena dilandasi jiwa korsa sebagai sesama lelaki yang kelaparan tapi makanan belum datang, ia kemudian berbasa-basi membangun percakapan dengan saya.

“Kuliah di mana, Mas?” tanyanya.

Saya, dengan tampang yang sebenarnya sangat tidak akademik, agak tersinggung. Maklum, sebagai anak yang kuliah gak kelar-kelar, ditanya seperti itu memang agak gremeges. Rasanya pengin saya bales, “Lha kalau sampeyan jadi dosen di mana?”, tapi tentu saja itu urung terjadi.

“iya pak, sembari kerja.”

“Ooo, kerja apa, Mas? Di mana?”

Nah, jika pertanyaan pertama bikin saya gremeges, maka pertanyaan kedua ini bikin saya bingung. Maklum saja, setiap kali ditanya kerja di mana, saya memang selalu butuh waktu ekstra untuk berpikir mencari jawabannya. Bukan karena pekerjaan saya nggak punya nama, tapi karena saya bingung, bagaimana menerangkan pekerjaan saya.

Begini, saya bekerja sebagai seorang Drafter Project di sebuah perusahaan konstruksi kaca. Masalahnya, tidak mudah menjelaskan profesi ini. Pengin bilang tukang gambar, tapi saya bukan Arsitek. Pengin jawab Konseptor, tapi saya merasa kata itu masih terlalu asing.

Pada akhirnya, jawaban yang saya berikan adalah jawaban “dusta” yang saya anggap paling mudah dan paling mewakili pekerjaan saya walau secara teknis agak berbeda.

“Jadi buruh pak, di perusahaan kaca.”

Menjawab pertanyaan “kerja apa?” di jaman sekarang memang pada titik tertentu bukanlah hal yang mudah. Di era digital seperti sekarang ini, banyak pekerjaan baru yang kadang memang susah untuk dipahami oleh orang-orang tua.

Tak bisa kita mungkiri bahwa memang era digital banyak melahirkan profesi-profesi baru yang kerap tidak mudah dimengerti oleh orang-orang tua, apalagi yang tidak melek teknologi. Jangankan orang tua, bahkan untuk menjelaskan pekerjaan yang agak rumit, misal programmer atau layouter kepada kawan sendiri yang usianya sepantaran saja kadang kita begitu kesulitan untuk mencari kata-kata yang termudah.

Beberapa profesi baru muncul seiring dengan kebutuhan di era digital. Bisnis jual beli online, misalnya, melahirkan satu profesi baru bernama sprinter, yakni orang yang mengambil paket dari penjual untuk kemudian menyebarkannya ke counter-counter ekspedisi. Bisnis kampanye digital melahirkan profesi buzzer dan influencer, dua profesi yang cukup sering membikin orang bingung untuk menjelaskannya.

Berbagai profesi ini muncul tanpa banyak diduga oleh banyak orang. Jasa apa pun ada. Bahkan untuk sekadar bikin caption Facebook atau Instagram pun ada yang siap mengerjakannya. Dan kelak, aneka profesi yang “aneh” itu bakal membawa konsekuensi berupa kesulitan menerangkan pekerjaannya kepada orangtua atau calon mertua.

Kalau tidak diterangan dengan detail, hal tersebut mampu melahirkan polemik tersendiri. Seorang kawan pernah ditanya oleh seorang petugas kecamatan tentang pekerjaannya saat hendak membuat KTP. Ia menjawab “penulis” Sesaat setelah menjawab pertanyaan tersebut, si petugas kemudian langsung pasang tampang ramah. Padahal sebelumnya, wajahnya sengak bukan kepalang. Belakangan diketahui kalau si petugas kecamatan mengira kalau pekerjaan penulis itu ya wartawan. Sehingga ia takut kalau ia bersikap tidak ramah, niscaya bakal ditulis di media.

Seorang kawan saya yang lain, yang kebetulan juga penulis punya nasib yang nggak jauh berbeda. Ketika ia menjawab profesinya sebagai “penulis”, orang yang tanya itu langsung menimpali, “Oalah, sekretaris.”

Ah, betapa susahnya hal yang sebenarnya simpel begini. Saya jadi nggak bisa bayangin bagaimana kawan-kawan saya yang bekerja sebagai admin sosial media menjelaskan pekerjaannya.

“Kamu kerjanya apa, Dek?”

“Admin sosial media, Bu.”

“Admin sosial media? Itu kerjanya ngapain?”

“Ya ngurus Facebook, Twitter, sama Instagram.”

“Oalah, anak muda sekarang ya, bukannya kerja, malah Facebookan.”