Wednesday, April 22, 2020

COVID-19 DAN LARANGAN MUDIK


Tentu kita semua berusaha menebarkan jala penuh harapan dalam menghadapi pandemi corona ini. Tapi harapan yang kita inginkan terjadi hari ini ternyata tak terjadi. Beberapa hari lalu Presiden jokowi sudah mengumumkan larangan mudik idul fitri. Melihat banyaknya warga Indonesia yang tidak mengikuti imbauan pemerintah, langkah tegas diambil. Meski langkah ini terhitung telat, tapi setidaknya ada aturan tegas.

Larangan mudik ini, dilihat dari segi pencegahan, adalah langkah tepat. Tapi kalau dilihat dari segi budaya dan sosial, langkah ini bisa dianggap bencana. Setidaknya bagi ibu saya.

Makin hari, makin banyak pula orang yang kehilangan pekerjaan. Banyak bisnis yang terpuruk. Ketakutan dan kepanikan makin terlihat di sudut-sudut kehidupan. Tentu, ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia lain, semua bertarung melawan corona, dan mungkin baru sebagian kecil yang mencicil lega. Itu pun harus kembali waswas. Di Korea Selatan, negara yang dianggap cukup tangguh menghadapi corona, mesti mendapatkan fakta baru, yakni orang-orang yang sudah dinyatakan sembuh dari serangan virus itu bisa kembali diserang. Sistem imun pasca-kena corona, dipertanyakan ulang.

Tentu larangan mudik ini dari sisi penjegahan membuat kita sedikit optimis. Kita mungkin sudah bosan dengan air mata dan kesedihan, juga rontoknya harapan. Mungkin kita mulai malas memutakhirkan data berapa jumlah korban yang jatuh setiap hari entah di negeri ini atau di luar sana. Tapi mau kita baca atau tidak, fakta-fakta itu terus bicara dengan cara yang khas: kaku tak terbantahkan.

Saat larangan mudik resmi dikeluarkan, saya langsung mengabari ibu. Saya bilang kalau Lebaran nanti kemungkinan tidak mudik. Tidak butuh waktu lama ibu saya langsung menelepon sambil menangis. “Yah mas, masa Lebaran ra weruh kamu. Masak ya tega,” kata ibu saya.

Remuk pertahanan saya.

Ada sedikit penyesalan setelah lapor kepada ibu. Niat saya simpel, saya kasih tahu sekarang agar ibu bisa siap. Lagian, cuti bersama Lebaran dipindah ke bulan lain. Tapi ibu saya tetap saja susah menerima. Saya jarang pulang selama merantau dan sudah 7 tahun saya merantau. Lebaran jadi momen yang benar-benar penting bagi ibu saya. Tahan dulu emosinya. Ibu saya tahu kalau corona ini bukan masalah sepele. Tapi susah juga bagi orang tua untuk tidak melihat anaknya di hari Lebaran.

Betapa susah menahan rindu kepada orang tua. Namun, kesabaran menahan rindu akan jadi berkah di masa depan. Ketika egois dan keras kepala melanggar larangan mudik, kita justru jadi orang jahat. Bukan tidak mungkin kita malah menularkan virus corona di sebuah tempat terkasih yang kita sebut: rumah.

Meskipun memang, kalau ibu sudah menangis, pertahanan siapa yang tidak jebol. Melihat dan mendengar ibu menangis itu jauh lebih menyanyat hati ketimbang diselingkuhin lalu ditinggal nikah.

Sebelum telepon saya tutup, saya cuma bisa menenangkan ibu bahwa jika Tuhan berkehendak, saya bisa mudik. Semoga kamu semua yang nggak bisa mudik diberi ketabahan, ya. Doa terbaik dari saya untuk orang tua kalian. Semoga selalu diberi kesehatan dan kesabaran.

Belum lagi dengan Anisa, saya suda hampir satu bulan tidak bertemu. pertemuan yang setiap hari kita lakukan kini hanya tinggal membekas lantaran Corona. Yang harus menjadi kesedihan rencana pertunangan kami juga harus diundur yang sedianya akan kita lakukan setelah lebaran idul fitri.

Sekarang yang harus kita lakukan adalah kerjakan sesuatu dengan yang terbaik, bersiaplah yang terburuk. Begitu aturan utama orang dalam mengatur strategi di kehidupan ini. walaupun Semua yang terbaik sudah kita berikan. Energi, pikiran, uang, dan semua modal sosial yang kita miliki sudah kita taruh di atas meja perjudian. Masalahnya adalah yang terburuk itu sudah tidak bisa kita ukur dan bayangkan lagi.

Kita tahu batas modal yang kita miliki. Tapi kita tak pernah tahu seberapa dalam kekalahan akan membuat lubang di hidup ini. Ini jenis perjudian yang bukan hanya akan menyita seluruh modal yang kita punya. Sebab misteri kekalahannya masih begitu misterius dan sunyi.

Sialnya, kita bahkan tak tahu bagaimana cara mengibarkan bendera putih. Kita tidak bisa menyerah agar permainan dihentikan. Corona tak mau berhenti, dan persabungan ini harus terus berlanjut lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Tuesday, April 7, 2020

COVID-19 VS UANG SEMESTER


Dihentikannya kegiatan perkuliahan karena virus corona menimbulkan banyak masalah. Selain kuliah online yang dianggap tidak efektif, masalah lain yang muncul adalah tentang bayaran uang semeseter. Pasalnya sebagian mahasiswa kelas karyawan yang memang membayar uang semester dari hasil kerjanya mengalami penurunan penghasilan karena pemangkasan gaji serta banyak yang terkena PHK dari Perusahaan tempat mereka bekerja. Dari hal tersebut banyak mahasiswa meminta untuk uang semester digratiskan atau setidaknya diberi diskon.

Tapi apakah mungkin?

Sebenarnya, bisa. Sesuai SE PLT Dirjen Dikti dengan nomor surat 302/E.E2/KR/2020, pimpinan Perguruan Tinggi diberi otoritas penuh untuk mengambil keputusan terkait kebijakan yang paling pantas dan sesuai untuk tiap universitas. Keputusan ada di tangan para rektor Universitas di mana kita menjalani kuliah.

Tapi seharusnya memberikan potongan atau menggratiskan biaya semester adalah kebijakan yang harus diambil. Dampak virus corona yang masif membuat semua orang kesulitan dalam hal ekonomi. Banyak usaha yang mengalami penurunan pemasukan, dan beberapa perusahaan memotong gaji para karyawan. Praktis ini membuat banyak mahasiswa harus benar-benar mengatur uang yang mereka punya untuk bertahan hidup.

Tapi masak ya nggak punya tabungan untuk bayar semesteran? Ya ada, tapi bukan berarti uang itu semata untuk bayar semesteran saja. Belum tentu juga dalam 2-3 bulan ke depan wabah ini membaik dan kegiatan ekonomi berlangsung normal. Situasi yang dihadapi ini datang mendadak, tidak ada negara yang siap menghadapi ini, apalagi para mahasiswa karyawan yang mengandalkan uang bayaran semester secara mandiri.

Dampak yang dirasakan tidak mengenal kalangan. Jika tidak dipotong atau digratiskan, mahasiswa merasakan dua kerugian. Pertama semester sekarang yang berlangsung tidak optimal. Kedua, semester depan pun tidak menjamin akan berjalan normal. Jika tetap harus membayar sesuai angka normal, beban yang harus ditanggung benar-benar berat.

Belakangan kampus - kampus seakan membuat kebijakan terhadap dampak Virus corona ini. Contohnya, tunjangan kuota untuk para pegawai dan mahasiswa untuk kegiatan kuliah online. Jika satu kampus memulai tindakan tersebut, kampus lain kemungkinan akan mengikuti.

Bijaknya memang Universitas tidak mengambil keuntungan atau merencanakan pembangunan dalam waktu dekat. Melihat keadaan yang ada, tidak elok rasanya tetap memaksakan mahasiswa membayar dengan penuh. Di titik ini, logika kapitalisme harus dikesampingkan dan mengedepankan kemanusiaan.

Memotong atau menggratiskan uang semesteran seharusnya bukanlah beban bagi Universitas. Universitas pun terkena dampak dari corona, dan harusnya terlintas juga di pikiran mereka bagaimana dampaknya ke mahasiswa. Pembangunan atau hal lain yang tidak mendesak harusnya tidak menjadi alasan untuk memaksa mahasiswa membayar penuh.

Saat ini adalah saat paling tepat untuk para petinggi universitas untuk mendengar suara mahasiswa. Dan mereka juga harusnya tau, ini bukan perkara uang semester, tapi juga perkara kemanusiaan.