Tentu kita semua berusaha
menebarkan jala penuh harapan dalam menghadapi pandemi corona ini. Tapi harapan
yang kita inginkan terjadi hari ini ternyata tak terjadi. Beberapa hari lalu
Presiden jokowi sudah mengumumkan larangan mudik idul fitri. Melihat banyaknya
warga Indonesia yang tidak mengikuti imbauan pemerintah, langkah tegas diambil.
Meski langkah ini terhitung telat, tapi setidaknya ada aturan tegas.
Larangan mudik ini, dilihat dari
segi pencegahan, adalah langkah tepat. Tapi kalau dilihat dari segi budaya dan
sosial, langkah ini bisa dianggap bencana. Setidaknya bagi ibu saya.
Makin hari, makin banyak pula
orang yang kehilangan pekerjaan. Banyak bisnis yang terpuruk. Ketakutan dan
kepanikan makin terlihat di sudut-sudut kehidupan. Tentu, ini bukan hanya
terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia lain, semua bertarung melawan
corona, dan mungkin baru sebagian kecil yang mencicil lega. Itu pun harus
kembali waswas. Di Korea Selatan, negara yang dianggap cukup tangguh menghadapi
corona, mesti mendapatkan fakta baru, yakni orang-orang yang sudah dinyatakan
sembuh dari serangan virus itu bisa kembali diserang. Sistem imun pasca-kena
corona, dipertanyakan ulang.
Tentu larangan mudik ini dari
sisi penjegahan membuat kita sedikit optimis. Kita mungkin sudah bosan dengan
air mata dan kesedihan, juga rontoknya harapan. Mungkin kita mulai malas memutakhirkan
data berapa jumlah korban yang jatuh setiap hari entah di negeri ini atau di
luar sana. Tapi mau kita baca atau tidak, fakta-fakta itu terus bicara dengan
cara yang khas: kaku tak terbantahkan.
Saat larangan mudik resmi
dikeluarkan, saya langsung mengabari ibu. Saya bilang kalau Lebaran nanti
kemungkinan tidak mudik. Tidak butuh waktu lama ibu saya langsung menelepon
sambil menangis. “Yah mas, masa Lebaran ra weruh kamu. Masak ya tega,” kata ibu
saya.
Remuk pertahanan saya.
Ada sedikit penyesalan setelah
lapor kepada ibu. Niat saya simpel, saya kasih tahu sekarang agar ibu bisa
siap. Lagian, cuti bersama Lebaran dipindah ke bulan lain. Tapi ibu saya tetap
saja susah menerima. Saya jarang pulang selama merantau dan sudah 7 tahun saya
merantau. Lebaran jadi momen yang benar-benar penting bagi ibu saya. Tahan dulu
emosinya. Ibu saya tahu kalau corona ini bukan masalah sepele. Tapi susah juga
bagi orang tua untuk tidak melihat anaknya di hari Lebaran.
Betapa susah menahan rindu kepada
orang tua. Namun, kesabaran menahan rindu akan jadi berkah di masa depan.
Ketika egois dan keras kepala melanggar larangan mudik, kita justru jadi orang
jahat. Bukan tidak mungkin kita malah menularkan virus corona di sebuah tempat
terkasih yang kita sebut: rumah.
Meskipun memang, kalau ibu sudah
menangis, pertahanan siapa yang tidak jebol. Melihat dan mendengar ibu menangis
itu jauh lebih menyanyat hati ketimbang diselingkuhin lalu ditinggal nikah.
Sebelum telepon saya tutup, saya
cuma bisa menenangkan ibu bahwa jika Tuhan berkehendak, saya bisa mudik. Semoga
kamu semua yang nggak bisa mudik diberi ketabahan, ya. Doa terbaik dari saya
untuk orang tua kalian. Semoga selalu diberi kesehatan dan kesabaran.
Belum lagi dengan Anisa, saya suda hampir satu bulan tidak bertemu. pertemuan yang setiap hari kita lakukan kini hanya tinggal membekas lantaran Corona. Yang harus menjadi kesedihan rencana pertunangan kami juga harus diundur yang sedianya akan kita lakukan setelah lebaran idul fitri.
Belum lagi dengan Anisa, saya suda hampir satu bulan tidak bertemu. pertemuan yang setiap hari kita lakukan kini hanya tinggal membekas lantaran Corona. Yang harus menjadi kesedihan rencana pertunangan kami juga harus diundur yang sedianya akan kita lakukan setelah lebaran idul fitri.
Sekarang yang harus kita lakukan
adalah kerjakan sesuatu dengan yang terbaik, bersiaplah yang terburuk. Begitu
aturan utama orang dalam mengatur strategi di kehidupan ini. walaupun Semua
yang terbaik sudah kita berikan. Energi, pikiran, uang, dan semua modal sosial
yang kita miliki sudah kita taruh di atas meja perjudian. Masalahnya adalah
yang terburuk itu sudah tidak bisa kita ukur dan bayangkan lagi.
Kita tahu batas modal yang kita
miliki. Tapi kita tak pernah tahu seberapa dalam kekalahan akan membuat lubang
di hidup ini. Ini jenis perjudian yang bukan hanya akan menyita seluruh modal
yang kita punya. Sebab misteri kekalahannya masih begitu misterius dan sunyi.
Sialnya, kita bahkan tak tahu
bagaimana cara mengibarkan bendera putih. Kita tidak bisa menyerah agar
permainan dihentikan. Corona tak mau berhenti, dan persabungan ini harus terus
berlanjut lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi.