Wednesday, July 22, 2020

MEMORI LAGU

Kadang  otak saya mengingat detail-detail yang trivial dari suatu kejadian. Saya tidak punya kemampuan visual yang baik. Penciuman dan indera perasa juga kurang peka. Alhasil yang lebih sering saya ingat adalah bunyi…

Musik.

Waktu itu saya masih SD. Kelas 4 atau 5, saya lupa persisnya. Sekeluarga berempat pergi dari rumah ke tempat mbah uti dengan mobil kijang rental dari kerabat Bapak. Bapak memegang setir, ibu di sampingnya. Seingat saya, adik perempuan saya duduk di kursi belakang sebelah kanan, dan saya kedapatan di belakang ibu. Waktu itu adik laki – laki saya masih dalam proses perencanaan produksi.

Sepanjang jalan kami menikmati lagu – lagu nostalgia yang menjadi lagu wajib keluarga kami, ada D’lloyd, koes plus sampai lagu campursari Didi kempot.

Saya ingat menjulurkan badan ke ruang di antara kursi bapak dan ibu, berusaha membuat mereka dengar suara saya yang menyanyi mengikuti lagu apa salahku dari D’lloyd yang saat ini sedang di produksi ulang oleh Betrand Peto. Lagu itu membawa saya pada masa dimana kami menikmati kemesraan di keluarga.

Entah lagunya dari kaset atau radio. Suara  Syamsuar Hasyim beradu dan mengalun. Saya menimpali dengan suara bocah saya, mengikuti lirik padahal tak paham maksud dari penggalan lirik tersebut.

Ibu dan bapak asyik mengobrol. Waktu saya tanya apa mereka dengar saya menyanyi, mereka bilang tidak.

Penting? Nggak. Tapi entah kenapa teringat sampai sekarang. Memori itu aneh ya.

PERTANYAAN KEPO

Tempo hari saya datang ke minimarket buat belanja. Mbak penjaga tokonya ngajak ngobrol sambil menunggu proses pembayaran.

“Mas Istrinya gak di ajak?”

Saya ketawa. “Saya belum nikah mbak”

“waduh dari mukanya saya gak percaya mas” sambung dia.

Ya saya jawab apa adanya. Memang saya belum menikah, perihal muka kelihatan tua itu karena faktor kumis dan jenggot yang lebat saja. Mbaknya bilang “oh” dan kelihatan agak malu.

Saya sih santai aja. Kadang ada orang yang merasa tersinggung dengan pertanyaan seperti itu, menganggapnya mengusik privasi, kepo, dan sebagainya. Tapi saya coba pakai sudut pandang lain. Siapa tahu mbaknya ada niat baik, mau menawarkan cukuran jenggot supaya wajah saya bisa terlihat lebih fresh dan muda. Atau mungkin dia sedang butuh cerita dan saran dari mas mas muda dengan tampang tua, jadi dia mau tanya-tanya. Toh nada mbaknya terdengar tulus waktu dia bertanya. Saya juga yakin kalau kebanyakan orang tidak ada maksud buruk ketika mengajukan “pertanyaan-pertanyaan kepo” seperti itu. Masa iya sih mbaknya sengaja memprovokasi saya, seorang pelanggan di tokonya.

Setelah itu kami lanjut ngobrol. Ya santai aja. Setelah transaksi belanja, kami berpisah dengan senyum.

Kadang kita bisa meminta orang lain untuk berhenti mengajukan pertanyaan kepo, tapi sering kali ini tidak bisa dihindari. Kadang kita yang harus mengubah cara pandang kita dan cara kita menanggapi pertanyaan-