Sunday, June 21, 2020

BIASA SAJA

Begitu banyak peristiwa yang terjadi belakangan ini. Ada putusan jaksa untuk  air keras yang katanya tidak sengaja menghadiri wajah tokoh anti korupsi Novel Baswedan. Ada warisan humor Gus Dur yang bikin cilaka. Ada Eka Sila. Ada Omnibus Law yang mendadak tiba di terminal akhir. Covid 19? Tidak perlu ditanya, berita itu masih menjadi bagian empuk sorot jurnalistik untuk menjadikan salah satu liputan primadonanya. Belum lagi berita tentang dokter, pasien yang meninggal akibat pandemi. Juga dengan keramaian CFD Jakarta saat dibuka pertama kalinya sejak pembatasan wilayah berskala besar dilonggarkan kembali.

Covid 19 mengubah segalanya kehidupan kita. Pemerintah membuat sebuah peraturan yang biasa kita sebut dengan New Normal. Harapanya semua masyarakat bisa memulai kembali roda ekonomi dan kehidupan baru yang sebagian besar diatur sesuai dengan protocol kesehatan untuk menghindari penyebaran Covid-19. Alih alih membut sebuah kebijakan baru, nyatanya kebijakan ini hanyalah sebuah panduan. Masyarakat tidak diajak untuk mendalami perubahan normal dari pemikiran. Jalan-jalan sudah penuh,padat. New normal sudah normal atau tanpa new? Jumlah penderita baru Covid-19 naik. Sudah dua hari terakhir di atas 1.000 orang/hari. Lebih tinggi dari yang lalu-lalu.

Dibidang pendidikan tak ayal menjadi salah satu topik menarik untuk tidak dilewatkan. Di perguruan tinggi swasta banyak mahasiswa yang mengeluh akibat pemotongan biaya kuliah yang tak kunjung diberikan. Namun Yang menjadi perhatian Kemendikbud membuat sebuah kebijakan untuk memotong biaya kuliah di perguruan tinggi yang hanya ditujukan kepada perguruan tinggi negeri. Lalu bagaimana dengan jutaan mahasiswa perguruan tinggi swasta? Nasib mereka terlantung-lantung menunggu kebijakan internal kampus yang tak kunjung jua dikeluarkan. Alih-alih menunggu, banyak mahasiswa yang memilih untuk mundur dan tidak melanjutkan kembali.

Segala aspek kehidupan dinegara ini sedang retak, harapan pada Pemerintah agar tidak gegabah dalam memberikan sebuah kebijakan sangatlah besar. Masyarakat sudah cukup lelah dengan peraturan yang dalam penerapan dilapanganya cenderung asal asalan dan tidak tepat sasaran. Kartu prakerja yang dinilai terlalu memaksa terus dijalankan. Lingkungan oligarki senang, masyarakat meradang setelah tau proses seleksi untuk pengisi konten pada prakerja tidak pernah dibuka dan diketahui oleh publik.

Barangkali benar apa yang dikatakan Cak Nun bahwa Indonesia memang sudah ditakdirkan menjadi negara yang biasa-biasa saja. Pemerintah yang biasa saja melihat pandemi ini yang semakin hari semakin bertambah kasusnya, biasa saja melihat putusan hakim pada kasus Novel Baswedan seraya BuzzeRp berceloteh di sosial media dan meyakinkan bahwa itu putusan sudah dengan proses yang sangat adil, DPR biasa saja tanpa ada rasa prihatin dengan keadaan masyarakat saat  ini dan terus ngebut mengesahkan UU Omnibus Law.

Jadi bagaimana ini Pak Jokowi ?

“Biasa saja” dengan tawa khasnya.


Monday, June 8, 2020

NEW NORMAL YANG TIDAK NORMAL

Sudah beberapa hari ini kita dibombardir dengan apa yang disebut Kenormalan Baru (New Normal), tapi jika kita teliti lebih lanjut, semua hanya berupa petunjuk teknis bagaimana melaksanakan normal baru itu, tanpa perubahan dan cara pandang baru. Kita diminta menjaga jarak, memakai masker, rajin mencuci tangan, dan sejenisnya. Namun, kita tidak diminta untuk merefleksikan dengan cara pandang baru bahwa jika kita serakah dan gegabah terhadap alam, alam akan memberi kita hukuman. Dan bisa jadi, hukuman ke depan, lebih keras dari corona. Lebih mematikan. Lebih membuat kita menderita baik secara fisik maupun psikis.

Apakah normal baru diiringi oleh kesadaran baru? Dan apakah kesadaran baru diikuti dengan tata aturan baru? Kenapa pemerintah tidak segera membuat semacam renungan nasional yang mengakui bahwa kita bangsa Indonesia, selama ini ikut serta bersama bangsa-bangsa lain, mengeksploitasi alam secara berlebihan, dan karena pandemi corona ini maka kita sebagai sebuah bangsa menyepakati akan menjadi salah satu pelopor untuk usaha bersama agar perusakan alam segera dihentikan. Setelah itu diikuti dengan sekian aturan baru yang lebih ketat, yang terutama berurusan dengan tambang, pertanian homogen skala luas, pemakaian bahan bakar fosil yang masif, dll.

Jangan-jangan tidak ada pelajaran yang bersifat lebih etis dan paradigmatik soal pandemi corona ini. Sehingga diamnya kita, lesunya kita, puyengnya kita, itu hanyalah jeda sementara, yang kelak akan membuat kerusakan yang lebih besar di bumi ini.

Kemudian ketika kita kelak akan mengalami semacam pandemi corona yang lebih mematikan, kita kembali menangis melolong, menyesal, dan terlihat begitu bodoh. Namun sayang, ketika hal itu terjadi lagi, kita semua sudah telat. Lalu alam akan meninggalkan kita dengan mengumpat: dasar manusia tak tahu diuntung!