Kalau
pekerjaannya Polisi, Dokter, TNI, Guru, tentu mudah untuk menjelaskannya kepada
orangtua, tapi kalau Buzzer, Influencer, Freelancer, dan -er -er lainnya, tentu
tak semudah itu.
Saya sedang
duduk di sebuah warung penyetan pecel lele saat makan siang, saat menunggu
pesanan makanan saya datang, sebab saat itu, baru teh anget dan air kobokannya
saja yang sudah disajikan di atas meja. Di seberang saya, duduk seorang lelaki
setengah baya yang juga sama-sama sedang menunggu pesanannya datang. Mungkin
karena dilandasi jiwa korsa sebagai sesama lelaki yang kelaparan tapi makanan
belum datang, ia kemudian berbasa-basi membangun percakapan dengan saya.
“Kuliah di mana, Mas?” tanyanya.
Saya, dengan
tampang yang sebenarnya sangat tidak akademik, agak tersinggung. Maklum,
sebagai anak yang kuliah gak kelar-kelar, ditanya seperti itu memang agak
gremeges. Rasanya pengin saya bales, “Lha kalau sampeyan jadi dosen di mana?”,
tapi tentu saja itu urung terjadi.
“iya pak, sembari kerja.”
“Ooo, kerja apa, Mas? Di mana?”
Nah, jika pertanyaan
pertama bikin saya gremeges, maka pertanyaan kedua ini bikin saya bingung.
Maklum saja, setiap kali ditanya kerja di mana, saya memang selalu butuh waktu
ekstra untuk berpikir mencari jawabannya. Bukan karena pekerjaan saya nggak
punya nama, tapi karena saya bingung, bagaimana menerangkan pekerjaan saya.
Begini, saya
bekerja sebagai seorang Drafter Project di sebuah perusahaan konstruksi kaca. Masalahnya,
tidak mudah menjelaskan profesi ini. Pengin bilang tukang gambar, tapi saya
bukan Arsitek. Pengin jawab Konseptor, tapi saya merasa kata itu masih terlalu
asing.
Pada akhirnya,
jawaban yang saya berikan adalah jawaban “dusta” yang saya anggap paling mudah
dan paling mewakili pekerjaan saya walau secara teknis agak berbeda.
“Jadi buruh pak, di perusahaan kaca.”
Menjawab
pertanyaan “kerja apa?” di jaman sekarang memang pada titik tertentu bukanlah
hal yang mudah. Di era digital seperti sekarang ini, banyak pekerjaan baru yang
kadang memang susah untuk dipahami oleh orang-orang tua.
Tak bisa kita
mungkiri bahwa memang era digital banyak melahirkan profesi-profesi baru yang
kerap tidak mudah dimengerti oleh orang-orang tua, apalagi yang tidak melek
teknologi. Jangankan orang tua, bahkan untuk menjelaskan pekerjaan yang agak
rumit, misal programmer atau layouter kepada kawan sendiri yang usianya
sepantaran saja kadang kita begitu kesulitan untuk mencari kata-kata yang
termudah.
Beberapa profesi
baru muncul seiring dengan kebutuhan di era digital. Bisnis jual beli online,
misalnya, melahirkan satu profesi baru bernama sprinter, yakni orang yang
mengambil paket dari penjual untuk kemudian menyebarkannya ke counter-counter
ekspedisi. Bisnis kampanye digital melahirkan profesi buzzer dan influencer,
dua profesi yang cukup sering membikin orang bingung untuk menjelaskannya.
Berbagai profesi
ini muncul tanpa banyak diduga oleh banyak orang. Jasa apa pun ada. Bahkan
untuk sekadar bikin caption Facebook atau Instagram pun ada yang siap
mengerjakannya. Dan kelak, aneka profesi yang “aneh” itu bakal membawa
konsekuensi berupa kesulitan menerangkan pekerjaannya kepada orangtua atau
calon mertua.
Kalau tidak
diterangan dengan detail, hal tersebut mampu melahirkan polemik tersendiri.
Seorang kawan pernah ditanya oleh seorang petugas kecamatan tentang
pekerjaannya saat hendak membuat KTP. Ia menjawab “penulis” Sesaat setelah
menjawab pertanyaan tersebut, si petugas kemudian langsung pasang tampang
ramah. Padahal sebelumnya, wajahnya sengak bukan kepalang. Belakangan diketahui
kalau si petugas kecamatan mengira kalau pekerjaan penulis itu ya wartawan.
Sehingga ia takut kalau ia bersikap tidak ramah, niscaya bakal ditulis di
media.
Seorang kawan
saya yang lain, yang kebetulan juga penulis punya nasib yang nggak jauh
berbeda. Ketika ia menjawab profesinya sebagai “penulis”, orang yang tanya itu
langsung menimpali, “Oalah, sekretaris.”
Ah, betapa
susahnya hal yang sebenarnya simpel begini. Saya jadi nggak bisa bayangin
bagaimana kawan-kawan saya yang bekerja sebagai admin sosial media menjelaskan
pekerjaannya.
“Kamu kerjanya
apa, Dek?”
“Admin sosial
media, Bu.”
“Admin sosial
media? Itu kerjanya ngapain?”
“Ya ngurus
Facebook, Twitter, sama Instagram.”
“Oalah, anak muda
sekarang ya, bukannya kerja, malah Facebookan.”
0 comments:
Post a Comment