Tidak akan menyangka oktober akan
berjalan seperti ini. Seperti merayakan sebuah ketergesaan dalam balutan waktu
yang seolah tidak ingin menunggu. Barisan hujan yang turun di awal oktober
menjadi penanda lain, sampai sejauh mana saya berjalan sejauh ini?. Rasanya
memang saya tak kemana mana.
Jakarta bulan ini selalu di awali
dengan rintihan hujan. Rintihan hujan yang rasanya lebih nikmat kita lalui
bersama semangkuk bubur pak Ratno dengan sambal pedas. Pak ratno selalu bilang “ bubur saya ini bisa bikin pagi sampeyan
jadi lebih semangat loh mas, soalnya bubur ini saya bikin dengan penuh cinta ” .
halah lambemu pak , seenak enaknya bubur sampeyan rasa nya tidak akan bisa
mengalahkan enak nya selimutan pagi saat hujan di jakarta.
Entah kenapa bulan ini saya selalu
di baluti rasa kemalasan setiap ingin melakukan aktifitas. Semangat yang dulu
berkoar untuk dikeluarkan entah padam di persimpangan yang mana. Kelebihan
energi disalurkan dengan dalih kegiatan demi kegiatan yang pada akhirnya
mengantarkan pada pertanyaan, untuk apa ?.
Jangan tanyakan bagaimana kerjaan
dan tugas tugas kuliah yang belum di sentuh sama sekali, lah wong janji untuk
menyelesaikan bacaan novel akhir pekan ini saja tidak bisa. Belum lagi dengan
tumpukan baju yang terbengkalai di sudut kamar, sudah hampir dua minggu belum
saya evakuasi. Duh gusti saya ini sedang kerasukan setan apa.
Rasanya saya ingin pulang ke
tegal kalau dalam kondisi seperti ini , Melepas rasa penat aktifitas yang saya
lalui setiap hari. Jadi semenjak saya ngambil kuliah di weekend saya sudah
tidak punya jatah buat selonjoran seharian. Bahkan ganti sempak yang deadline
nya setiap hari saja kadang saya lupa karena saking sibuknya.
Senin – Jum’at dari pagi sampai
malam saya kerja, sabtu dan minggu kuliah dengan durasi yang sama dari pagi
sampai malam. belum lagi seabreg kegitasan organisasi yang kadang memaksa saya
untuk tidak tidur seharian. kira nya teman teman juga bisa memaklumi mengapa
sampai sekarang saya belum punya pasangan. Eh yang untuk masalah sempak jangan
di kira sampai sekarang saya belum ganti yaa, saya sudah ganti sempak dari dua
minggu yang lalu.
Tapi akhir akhir ini saya sedang
tertarik untuk mengkaji mengenai the art of slow living. Atau bahasa kekekinian
nya hidup selow . Bermula dari
obrolan sederhana saya dengan pak sugeng saat ada rapat organisasi pemuda
peduli lingkungan cengkareng, saya bercerita tentang kesibukan saya sekarang
dengan beliau. Mendengar cerita kesibukan saya yang kata nya mirip mesin pabrik
astra yang gak ada libur nya dalam seminggu, pak sugeng hanya senyum. lalu
dengan santai nya pak sugeng Cuma jawab “hidup
mu kurang selow mas , belajar lagi memaknai hidup“. Jawaban yang sebenarnya tidak saya kehendaki
keluar, tapi menisyaratkan makna.
Lama kelamaan saya mulai memahami
apa itu yang di maksud hidup selow. Mungkin pak sugeng benar kalau hidup saya terlalu terburu buru. Dalam artian
apa yang saya lakukan setiap hari nya tidak lain hanya lah sebuah rasa
ketakutan akan ketidak bisaan saya menjadi manusia yang mempunyai kebebasan
finansial di usia semuda mungkin.
Masalah paranoia kaum urban yang
selalu kepincut kredit adalah akar dari segala hidup yang terlalu terburu buru.
Kita merasa takut jika tidak bisa mengejar harga rumah, belum lagi masalah
gengsi, ibu dari kegagalan hidup prihatin.
Mau tidak mau saya harus
menyadari bahwa saya dan teman teman yang memilih jalan seperti ini adalah korban
dari korporasi yang terampil dalam memainkan ilusi. Dalam konteks ilusi melonjaknya harga rumah
yang sasaran tentunya keluarga muda pihak korporasi terus membombardir pesan
untuk sesegera mungkin membeli properti jika tak ingin harga segera naik meski
produk yang di jual sebetulnya di produksi secara massal.
Ketakutan dan gengsi kami adalah
bahan baku utama para korporasi ini dalam bisnis mereka. Padahal kenaikan harga
properti hanya terjadi apabila ada pembelian secara massal. Ketika kita tidak
membeli secara tergesa gesa tentu tidak akan terjadi kenaikan bahkan bisa saja
turun. Namun jelas ini disadari mereka agar tidak ada kerugian. Dengan bahan
baku itu mereka membakar semangat kami agar terburu buru membeli, dan kami pun
sukses berlomba lomba untuk bisa membeli agar harga tidak naik.
Tanpa di sadari ternyata
ketakutan kita sendiriah yang menyebabkan harga properti melonjak. Dan akhirnya
kita menggadaikan apa saja yang kita miliki, termasuk kekuatan waktu luang yang
sejati nya penting untuk melakukan inovasi. Waktu luang itu kita pakai untuk
bekerja memutar roda korporasi lalu di eksploitasi karena kita harus terus
menerus membayar hutang. Tak sadar bahwa masa muda ini tak bisa kembali , dan
kita terus menerus di kejar kejar oleh kebutuhan sampai menggadaikan kekuasaan
dalam diri untuk pencarian uang yang tak ada hentinya.
Selow adalah kunci. Saya beruntung
bertemu pak sugeng yang sedikit merubah sudut pandang saya tentang hidup. Walaupun
saya juga harus mawas diri agar tidak terus menerus dalam lingkungan paranoid
ini. Lalu saya mencari tahu apa hal sederhana yang bisa di lakukan untuk
mengatasi ini ?. pulang kampung dan mengamati kehidupan orang orang desa
mungkin jawabanya. Orang orang yang menekuni the art of slow living yang sayang
nya sering kita maknai sebagai bermalas malasan.
Semoga sepulangnya dari kampung
saya bisa memetik apa itu the art of slow living, agar tidak tergesa gesa dalam
menjalani hidup ini.
(cerita akan di lanjutkan setelah
saya pulang kampung)
MRH