Friday, March 27, 2020

SURAT UNTUK SITI


Sabtu malam sehabis hujan tapi gerah Fahri menyusuri koridor kedai kopi langgananya dengan tergesa gesa. Setelah menyapa dan memberi kode kepada barista untuk membuatkan Caramel Machiato kesukaanya fahri meneruskan langkah menuju tangga yang membawanya ke lantai dua.

Tidak ada yang spesial dengan suasana lantai dua. Sebagian meja sudah terisi, pengunjungnya beragam. Di sudut ruangan lantai dua ada sepasang wanita dan laki-laki, gayanya biasa saja, tangan sang lelaki sedang memegang tangan wanitanya dengan muka panik seraya sedang meyakinkan dirinya atas tuduhan perselingkuhan. Di depanya ada pasangan lelaki tua dan gadis remaja cantik yang terlihat seperti anak dan orang tua. Aneh memang, namun nyatanya ini sering terjadi dan menjadi keunikan di kota ini.

Dari pengeras suara kedai terdengar suara Tulus, yang hampir selalu diputar dikedai ini. Apalagi kalau bukan lagu teman hidup.

Setelah duduk dan mengambil ransel kemudian menyalakan laptop, fahri membuka Email dan mulai menulis sesuatu yang membuat hatinya kalut selama dua bulan ini, sesuatu untuk perempuan yang sangat ia cintai.

Subj : MAKA (MAaf dan KAngen)
Sit,
Sebelumnya saya mau minta maaf dulu. Kenapa alih alih ngajak ketemuan, saya malah nulis email kayak gini.

Jawabanya sama – sama kita tahu sit.
Saya capek berantem, dan kamu pasti lebih capek lagi.
Kalau kita ketemu dan ngomongin ini sekarang yang ada malah berantem lagi, ribut lagi, diem dieman lagi dan gitu terus sampai kita gak tahu kapan selesainya.

Sit,
Sudah berapa lama kita Cuma menduga – duga, ngebiarin hati dan pikiran kita bermain – main, kemudian akhirnya kita jadi begini – begini saja?. Saya disiksa prasangka sendiri, kamu dibakar cemburu nggak jelas.
Gitu terus gak kelar kelar.

Sit,
Saya sayang kamu banget.
Kamu cantik, kamu pinter walaupun ketek kamu bau bawang kamu adalah jawaban dari semua doa saya. Kamu cita – cita terbesar saya, mimpi saya dan rancangan masa depan saya. Dan saya sangat beruntung kamu mau sama saya yang kata orang saya sedikit gila karena gosok gigi hanya sebulan sekali.
 
Tapi sit,
Kamu ingat, berapa kali saya dan kamu terus bertengkar Cuma gara- gara dunia kita berbeda. Kamu dengan dunia Korea kamu yang selalu meyakini bahwa Kim jong un pantas menjadi member baru BTS, atau saya yang selalu beranggapan bahwa Lucinta luna adalah titisan dewi kecantikan yang gak pernah percaya bahwa dia adalah lelaki.
Tapi apa nggap capek kita gini terus? Awalnya saya mengira, semua bisa berubah. Saya pikir kamu dan saya akan berubah dan perlahan menyesuaikan satu sama lain. Saya belajar paham dunia kamu, dan kamu belajar menerima dunia saya.
 
Tapi ternyata susah ya sit,
Cinta memang nggak semudah kalimat-kalimat puitisnya anak twitter. Tapi jujur saya menikmati semua momen indah kita. Kamu ingat nggak waktu kita berdua lagi makan Pizza terus kamu ngambek gara-gara gak bisa makan pizza kalau nggak pake nasi?.  Dengan tanggap Saya langsung nyari nasi di warteg, lalu saat saya datang ternyata pizza itu sudah habis kamu makan sama kardusnya. Sakit sih saat perjuangan gak dianggap, tapi bagi saya itu indah sit.

Sekarang bagian paling cemenya.
Dulu saya berfikir ada beberapa hal yang gak bisa dipaksakan, mungkin kita salah satunya. Tapi sekarang saya sadar ada beberapa hal juga yang sangat layak diperjuangkan, kita salah satunya.

Sit,
Saya minta maaf, kita pacaran lagi yuk. Saya nggak akan banyak berjanji kali ini, basi aja kalau email ginian masih ditutup pake janji.
Kita pacaran lagi, kita mulai dari awal lagi. Gimana ?

Aku yang menyayangimu

Fahri.
 
Fahri tersenyum, lalu membaca email itu sekali lagi untuk memastikan tidak ada kesalahan, lalu bersiap menekan tombol send, sampai kemudian sebuah tepukan lembut mendarat di pundaknya.
“udah nulisnya?” kata si penepuk.

Fahri menengok ke asal suara. Siti, pemilik suara dan nama di atas subjek email. Sosok cantik berkerudung terlihat berdiri dibelakangnya.

“Kenapa nggak bilang kalau mau kesini?” tanya Siti sambil tersenyum. “yang kamu tulis itu buat aku kan?”

Buru – buru fahri menutup laptopnya, menarik kursi didepanya lalu mempersilahkan Siti duduk.
“Begini, Sit...”

Wednesday, March 18, 2020

KRITIK UNTUK ORGANISASI INDUK


Tulisan ini saya tujukan untuk para Pemimpin Esa Unggul Eksekutif Club (E2C) Univeristas Esa Unggul yang telah ditunggu realisasi dari visi dan misinya.

Hari ini menjadi pukulan telak bagi saya dan anggota Ukk Pers E-Times karena dianggap menjatuhkan kredibiltas Organisasi akibat mengkritik Organisasi Induk dalam bentuk produk jurnalistik berupa Opini. Pertanyaanya adalah ketika E2C mengesahkan kami sebagai UKK Pers apakah E2C tidak mempertimbangkan sebuah resiko bahwa akan ada organisasi yang dinaunginya mengkritik lewat media.

Tapi saya tidak akan menjelasakan permasalahan tersebut, biarkan nanti ini menjadi bahan diskusi kami dan para pemangku kepentingan untuk membuat sebuah forum mengenai perihal tulisan yang E-Times buat.

Ada banyak sekali permasalahan – permasalahan yang belum disentuh oleh E2C dalam periode berjalan ini. Saya masih ingat, saat awal kepimimpinan Zidane saya diberikan kesempatan untuk mewancarainya, saat itu ia menyebutkan akan bersifat responsive terhadap isu luar dan dalam kampus. Namun, dari pembacaan saya sejauh ini, belum ada gerakan taktis dari  ketua umum dan jajarannya untuk bergerak secara efektif untuk berkontribusi memajukan bangsa pada umumnya, dan mahasiswa UEU pada khususnya.

Sebagai mahasiswa. kita seharusnya memang responsif untuk melihat isu-isu nasional yang berkembang saat ini. Lembaga kemahasiswaan harus bisa merangkul kawan-kawan mahasiswa agar saling bekerja secara kolektif untuk mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat.

Lalu bagaimana mahasiswa bisa hidup biasa-biasa saja atau malah diam disaat pendemik Corona yang mengancam keberlangsungan hidup banyak orang?. Menurut saya, bukan seperti itu menanggapi sebuah isu sebagai seorang mahasiswa. Sebagai mahasiswa, seharusnya menganggap bahwa semua masalah adalah setara dan perlu diselesaikan.

Hampir nyaris tidak pernah ada isu dalam maupun luar kampus yang menjadi konsen atau kajian khusus E2C untuk ikut terlibat menyelesaikanya. Kami sangat berharap E2C juga ikut menentukan skala prioritas dalam memecahkannya sebuah isu yang terjadi didalam maupun diluar kampus. Setelah mengkaji dan menentukan skala prioritas, lalu bergerak untuk secara kolektif dan menyelesaikannya. Sebab, salah satu alasan negara akan maju tergantung seberapa besar peran mahasiswa dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan umat dan bangsa.

Zidane sebagai Ketua tentunya paham betul dengan permasalahan mahasiswa UEU kelas Eksekutif, tentunya kita berharap ada sedikit harapan untuk E2C agar tidak selalu diam ketika ada isu didalam dan diluar kampus yang sedang terjadi. E2C bukanlah Event Organizer yang hanya menjadi penyedia dan penyelanggara event dan seminar kampus.

Zidane harus mampu mengkontrol para anggotanya pula agar selalu selaras, tidak mempertontonkan ketidak sepahaman di depan anggota Himma dan Ukk seperti yang terjadi saat Raker kemarin. Juga mampu mengendalikan tutur kata dari anggotanya agar tidak menjadi boomerang bagi E2C sendiri.

Skala prioritas dalam mengadvokasi sebuah isu harus digunakan secara kritis. Terutama dalam menganalisis dampak dan kepentingan isu yang terjadi. Sebab, sebagai organisatoris yang juga menjadi ujung tombak pergerakan Himma dan Ukk, harus mampu mengarahkan agar dapat berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini juga amanat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang salah satunya termaktub pengabdian pada masyarakat.

Sekali lagi saya tegaskan tidak ada tendensi apapun yang saya dan teman – teman E-Times lainya lakukan. Kami hanya merasa kesal dan lelah dipertontonkan ketidak harmonisan Internal E2C dan melihat perkembangan program yang itu – itu saja. Ini bentuk kepedulian kami agar induk organisasi kami kembali baik – baik saja dan bisa berinovasi.

Saya harap, Zidane Ketua Umum E2C mampu bersifat responsif secara ideal. Tidak bersifat responsif hanya berupa status di media sosialnya saja, dan yang menjadi persoalan bisa diimplementasikan dalam bentuk tindakan. Salam hormat dan sayang saya untuk Zidane dan semua Anggota E2C. Besar harapan saya agar Ketua Umum E2C mau membalas kritik saya, baik dalam bentuk tulisan, atau pun forum diskusi.

Sunday, March 15, 2020

SURAT DARI PEMBACA (TAKUT NEMBAK TAKUT DITOLAK)


Tanya

Hai Bang Kumis yang Rupawan. Perkenalkan nama saya Ramadhan, tinggal di kota Jakarta, usia 20 tahun, belum menikah, dan siap menikahi wanita mana pun yang mau.

Begini, sudah sejak lama saya ingin curhat di Kodok Kumis. Berkali-kali saya mencoba menulis surat, tapi selalu urung terkirim karena malu dan juga biasanya saran dari Bang Kumis bukannya menyelesaikan masalah, malah tambah bikin pusing.

Langsung aja ya. Di usia emas bagi pemain sepakbola ini, saya belum pernah merasakan nembak cewek seringnya saya di tembak. Kalo jatuh cinta sih sering ya …. Tapi ya itu, saya terlalu takut untuk mengungkapkan, karena memiliki perasaan takut ditolak.

Walaupun saya memiliki paras yang lumayan, ditunjang dengan body yang proporsional, tetapi saat berhadapan dengan wanita saya selalu “ciut”. Sudilah kiranya Abang berbagi tips agar saya bisa percaya diri, tidak takut untuk mengungkapkan perasaan pada yang saya taksir.

Segitu saja surat dari saya. Semoga mendapat jawaban yang memuaskan ….

Jawab

Dear Ramadhan yang mentalnya tak setangguh namanya ….

Begini mas Ramadhan yang mentalnya tak setangguh namanya. kamu pengin pacaran, tapi malu dan takut ditolak. Ha ngimpiiii… Itu sama seperti kamu pengin kenyang tapi nggak mau makan. Pengin tampil setil dan klimis tapi nggak mau jungkatan. Pengin pinter tapi nggak pernah mau baca buku.

Mas Ramadhan, camkan ini: “Bila kau berani jatuh cinta, kau juga harus berani cintamu jatuh”. Itu quote yang berkali-kali saya pakai , tapi saya tak pernah bosan untuk menggunakannya. Karena apa? Ya karena saya selalu mendapat curhatan macam begini dari manusia-manusia macam kamu ini.

Mas Ramadhan, Lelaki itu menang nembak, dan perempuan itu menang nolak. Itu sudah rule-nya. Kecuali kalau kamu memang cukup mempesona, kaya raya dan flamboyan sehingga sampai ada perempuan yang terkintil-kintil dan rela dengan apapun. Namun jika hal itu masih mustahil bagi kamu, ya mau nggak mau, kamu harus memberanikan diri untuk nembak. Bukankah katanya kamu punya paras tampan, punya body yang menunjang?

Mas Ramadhan, saya kasih tahu, saya ini nggak punya paras yang lumayan seperti kamu (jujur, saya masih ragu dengan pengakuan kamu), tapi puji Tuhan, saya punya mental yang lumayan. Saya berani nembak perempuan yang saya suka pertama kali di usia yang ke limabelas, lebih tepatnya pas saat saya SMP. Jawabannya sudah barang tentu kamu dan segenap pembaca tahu: Ditolak (pake “mentah-mentah”). Sedari awal, saya memang sudah memperkirakan itu. Sebab, tujuan saya nembak memang bukan sekadar agar diterima, namun juga sebagai pengalaman. Sakit? ya sakit pasti, namanya juga ditolak.

Nah, pengalaman berikutnya malah lebih memprihatinkan. Saya ditolak bahkan sebelum saya sempat nembak. Pengalaman-pengalaman menyakitkan itulah yang kelak kemudian sedikit banyak membuat saya belajar, bagaimana cara mendekati perempuan. Sungguh, pengalaman adalah guru yang baik. Sudah baik, nggak pernah nagih uang SPP juga.

Pengalaman-pengalaman itu saya percaya sebagai pembawa hal baik. Dan waktu memang membuktikan, setelah berkali-kali ditolak, toh saya akhirnya bisa punya pacar juga. Saya menembak perempuan berkali-kali. Ditolak berkali-kali. Dan tentu, semuanya dimulai dari berani nembak, dan berani ditolak.

Nah, saran saya. Mulai sekarang, cobalah untuk lebih berani. Ingat, orang berani adalah orang yang takut, sebab keberanian memang muncul akibat kemenangan atas ketakutan. Nah, bagaimana caranya agar tidak takut ditolak? Yakinkan diri kamu bahwa setiap lelaki punya daya tariknya masing-masing. Daya tarik yang hanya dimiliki lelaki tertentu dan hanya manjur untuk menarik perempuan tertentu. Dan untuk mengetahui siapakah wanita tertentu itu, caranya hanya satu: gambling.

Layaknya dadu, untuk mendapatkan angka 3, kamu terkadang harus melemparkannya berkali-kali dahulu. Terkadang, ada penjudi yang di lemparan pertama langsung mendapatkan angka 3, tapi kebanyakan penjudi mendapatkannya setelah lemparan yang kesekian kalinya.

So, mulailah melempar dadu kamu. Mulailah menembak. Mulailah belajar mengungkapkan perasaan. Jangan diniatkan untuk diterima, niatkan lah untuk cari pengalaman. Kalau ndilalah nanti diterima, ya sukur, itu bonus, bonus karena kamu mendapatkan angka 3 di lemparan yang pertama. Kalaupun nanti ditolak, itu juga bonus, sebab kamu mendapat dua pengalaman: pengalaman nembak, dan pengalaman ditolak.

Aduuuh, dunia kok indah betul ya. Sudah ya mas Ramadhan, Saya mau ke rumah Anisa dulu, mau nemenin dia beli lipstik sama bedak.

Wednesday, March 11, 2020

PERKARA PEKERJAAN DAN ORANGTUA


Kalau pekerjaannya Polisi, Dokter, TNI, Guru, tentu mudah untuk menjelaskannya kepada orangtua, tapi kalau Buzzer, Influencer, Freelancer, dan -er -er lainnya, tentu tak semudah itu.

Saya sedang duduk di sebuah warung penyetan pecel lele saat makan siang, saat menunggu pesanan makanan saya datang, sebab saat itu, baru teh anget dan air kobokannya saja yang sudah disajikan di atas meja. Di seberang saya, duduk seorang lelaki setengah baya yang juga sama-sama sedang menunggu pesanannya datang. Mungkin karena dilandasi jiwa korsa sebagai sesama lelaki yang kelaparan tapi makanan belum datang, ia kemudian berbasa-basi membangun percakapan dengan saya.

“Kuliah di mana, Mas?” tanyanya.

Saya, dengan tampang yang sebenarnya sangat tidak akademik, agak tersinggung. Maklum, sebagai anak yang kuliah gak kelar-kelar, ditanya seperti itu memang agak gremeges. Rasanya pengin saya bales, “Lha kalau sampeyan jadi dosen di mana?”, tapi tentu saja itu urung terjadi.

“iya pak, sembari kerja.”

“Ooo, kerja apa, Mas? Di mana?”

Nah, jika pertanyaan pertama bikin saya gremeges, maka pertanyaan kedua ini bikin saya bingung. Maklum saja, setiap kali ditanya kerja di mana, saya memang selalu butuh waktu ekstra untuk berpikir mencari jawabannya. Bukan karena pekerjaan saya nggak punya nama, tapi karena saya bingung, bagaimana menerangkan pekerjaan saya.

Begini, saya bekerja sebagai seorang Drafter Project di sebuah perusahaan konstruksi kaca. Masalahnya, tidak mudah menjelaskan profesi ini. Pengin bilang tukang gambar, tapi saya bukan Arsitek. Pengin jawab Konseptor, tapi saya merasa kata itu masih terlalu asing.

Pada akhirnya, jawaban yang saya berikan adalah jawaban “dusta” yang saya anggap paling mudah dan paling mewakili pekerjaan saya walau secara teknis agak berbeda.

“Jadi buruh pak, di perusahaan kaca.”

Menjawab pertanyaan “kerja apa?” di jaman sekarang memang pada titik tertentu bukanlah hal yang mudah. Di era digital seperti sekarang ini, banyak pekerjaan baru yang kadang memang susah untuk dipahami oleh orang-orang tua.

Tak bisa kita mungkiri bahwa memang era digital banyak melahirkan profesi-profesi baru yang kerap tidak mudah dimengerti oleh orang-orang tua, apalagi yang tidak melek teknologi. Jangankan orang tua, bahkan untuk menjelaskan pekerjaan yang agak rumit, misal programmer atau layouter kepada kawan sendiri yang usianya sepantaran saja kadang kita begitu kesulitan untuk mencari kata-kata yang termudah.

Beberapa profesi baru muncul seiring dengan kebutuhan di era digital. Bisnis jual beli online, misalnya, melahirkan satu profesi baru bernama sprinter, yakni orang yang mengambil paket dari penjual untuk kemudian menyebarkannya ke counter-counter ekspedisi. Bisnis kampanye digital melahirkan profesi buzzer dan influencer, dua profesi yang cukup sering membikin orang bingung untuk menjelaskannya.

Berbagai profesi ini muncul tanpa banyak diduga oleh banyak orang. Jasa apa pun ada. Bahkan untuk sekadar bikin caption Facebook atau Instagram pun ada yang siap mengerjakannya. Dan kelak, aneka profesi yang “aneh” itu bakal membawa konsekuensi berupa kesulitan menerangkan pekerjaannya kepada orangtua atau calon mertua.

Kalau tidak diterangan dengan detail, hal tersebut mampu melahirkan polemik tersendiri. Seorang kawan pernah ditanya oleh seorang petugas kecamatan tentang pekerjaannya saat hendak membuat KTP. Ia menjawab “penulis” Sesaat setelah menjawab pertanyaan tersebut, si petugas kemudian langsung pasang tampang ramah. Padahal sebelumnya, wajahnya sengak bukan kepalang. Belakangan diketahui kalau si petugas kecamatan mengira kalau pekerjaan penulis itu ya wartawan. Sehingga ia takut kalau ia bersikap tidak ramah, niscaya bakal ditulis di media.

Seorang kawan saya yang lain, yang kebetulan juga penulis punya nasib yang nggak jauh berbeda. Ketika ia menjawab profesinya sebagai “penulis”, orang yang tanya itu langsung menimpali, “Oalah, sekretaris.”

Ah, betapa susahnya hal yang sebenarnya simpel begini. Saya jadi nggak bisa bayangin bagaimana kawan-kawan saya yang bekerja sebagai admin sosial media menjelaskan pekerjaannya.

“Kamu kerjanya apa, Dek?”

“Admin sosial media, Bu.”

“Admin sosial media? Itu kerjanya ngapain?”

“Ya ngurus Facebook, Twitter, sama Instagram.”

“Oalah, anak muda sekarang ya, bukannya kerja, malah Facebookan.”