Sabtu malam sehabis hujan tapi
gerah Fahri menyusuri koridor kedai kopi langgananya dengan tergesa gesa. Setelah
menyapa dan memberi kode kepada barista untuk membuatkan Caramel Machiato
kesukaanya fahri meneruskan langkah menuju tangga yang membawanya ke lantai
dua.
Tidak ada yang spesial dengan suasana
lantai dua. Sebagian meja sudah terisi, pengunjungnya beragam. Di sudut ruangan
lantai dua ada sepasang wanita dan laki-laki, gayanya biasa saja, tangan sang
lelaki sedang memegang tangan wanitanya dengan muka panik seraya sedang
meyakinkan dirinya atas tuduhan perselingkuhan. Di depanya ada pasangan lelaki
tua dan gadis remaja cantik yang terlihat seperti anak dan orang tua. Aneh memang,
namun nyatanya ini sering terjadi dan menjadi keunikan di kota ini.
Dari pengeras suara kedai terdengar
suara Tulus, yang hampir selalu diputar dikedai ini. Apalagi kalau bukan lagu
teman hidup.
Setelah duduk dan mengambil
ransel kemudian menyalakan laptop, fahri membuka Email dan mulai menulis sesuatu
yang membuat hatinya kalut selama dua bulan ini, sesuatu untuk perempuan yang
sangat ia cintai.
Subj : MAKA (MAaf dan KAngen)
Sit,
Sebelumnya saya mau minta maaf
dulu. Kenapa alih alih ngajak ketemuan, saya malah nulis email kayak gini.
Jawabanya sama – sama kita
tahu sit.
Saya capek berantem, dan kamu
pasti lebih capek lagi.
Kalau kita ketemu dan
ngomongin ini sekarang yang ada malah berantem lagi, ribut lagi, diem dieman
lagi dan gitu terus sampai kita gak tahu kapan selesainya.
Sit,
Sudah berapa lama kita Cuma menduga
– duga, ngebiarin hati dan pikiran kita bermain – main, kemudian akhirnya kita
jadi begini – begini saja?. Saya disiksa prasangka sendiri, kamu dibakar cemburu
nggak jelas.
Gitu terus gak kelar kelar.
Sit,
Saya sayang kamu banget.
Kamu cantik, kamu pinter walaupun
ketek kamu bau bawang kamu adalah jawaban dari semua doa saya. Kamu cita – cita
terbesar saya, mimpi saya dan rancangan masa depan saya. Dan saya sangat
beruntung kamu mau sama saya yang kata orang saya sedikit gila karena gosok
gigi hanya sebulan sekali.
Tapi sit,
Kamu ingat, berapa kali saya
dan kamu terus bertengkar Cuma gara- gara dunia kita berbeda. Kamu dengan dunia
Korea kamu yang selalu meyakini bahwa Kim jong un pantas menjadi member baru
BTS, atau saya yang selalu beranggapan bahwa Lucinta luna adalah titisan dewi
kecantikan yang gak pernah percaya bahwa dia adalah lelaki.
Tapi apa nggap capek kita gini
terus? Awalnya saya mengira, semua
bisa berubah. Saya pikir kamu dan saya akan berubah dan perlahan menyesuaikan
satu sama lain. Saya belajar paham dunia kamu, dan kamu belajar menerima dunia
saya.
Tapi ternyata susah ya sit,
Cinta memang nggak semudah
kalimat-kalimat puitisnya anak twitter. Tapi jujur saya menikmati semua momen
indah kita. Kamu ingat nggak waktu kita berdua lagi makan Pizza terus kamu
ngambek gara-gara gak bisa makan pizza kalau nggak pake nasi?. Dengan tanggap Saya langsung nyari nasi di
warteg, lalu saat saya datang ternyata pizza itu sudah habis kamu makan sama
kardusnya. Sakit sih saat perjuangan gak dianggap, tapi bagi saya itu indah
sit.
Sekarang bagian paling cemenya.
Dulu saya berfikir ada
beberapa hal yang gak bisa dipaksakan, mungkin kita salah satunya. Tapi sekarang
saya sadar ada beberapa hal juga yang sangat layak diperjuangkan, kita salah
satunya.
Sit,
Saya minta maaf, kita pacaran
lagi yuk. Saya nggak akan banyak berjanji kali ini, basi aja kalau email ginian
masih ditutup pake janji.
Kita pacaran lagi, kita mulai
dari awal lagi. Gimana ?
Aku yang menyayangimu
Fahri.
Fahri tersenyum, lalu membaca
email itu sekali lagi untuk memastikan tidak ada kesalahan, lalu bersiap
menekan tombol send, sampai kemudian sebuah tepukan lembut mendarat di
pundaknya.
“udah nulisnya?” kata si penepuk.
Fahri menengok ke asal suara.
Siti, pemilik suara dan nama di atas subjek email. Sosok cantik berkerudung terlihat
berdiri dibelakangnya.
“Kenapa nggak bilang kalau mau
kesini?” tanya Siti sambil tersenyum. “yang kamu tulis itu buat aku kan?”
Buru – buru fahri menutup laptopnya,
menarik kursi didepanya lalu mempersilahkan Siti duduk.
“Begini, Sit...”